LOMBA KARYA ILMIAH: PEMIKIRAN SAYID ALI KHAMENEI

Total Hadiah 25 Juta untuk 10 Pemenang

LOMBA KARYA ILMIAH
PEMIKIRAN AL-QUR’AN SAYID ALI KHAMENEI

📍Ketentuan:

  • Peserta merupakan civitas akademika STAI Sadra, Yayasan Hikmat Al-Mustafa, anggota ABI, IJABI, IKMAL, ICC, dan lembaga-lembaga yang berafiliasi.
  • Lomba bersifat perorangan maupun kelompok (maksimal 3 orang)
  • Karya orisinal dan belum pernah dipublikasikan
  • Petunjuk Teknis dapat diakses di

📍Tema:
“Pemikiran Al-Qur’an Perspektif Sayid Ali Khamenei”
📍Sub Tema:

  1. Metodologi Tafsir Sayid Ali Khamenei
  2. Al-Qur’an dan Ilmu-ilmu Humaniora
  3. Landasan Qur’ani Pemikiran Politik, Sosial, dan Ekonomi
  4. Al-Qur’an dan Perempuan
  5. Al-Qur’an dan Peradaban
  6. Seni, Media, dan Budaya dalam Pandangan Al-Qur’an
  7. Al-Qur’an Anti Imperialisme dan Kapitalisme
  8. Kebangsaan dan Kenegaraan dalam Pandangan Al-Qur’an

đŸ—’ïžTimeline Lomba
20 Maret 2023 – 03 April 2023-Pendaftaran Peserta
28 April 2023 – Batas Pengumpulan
02 Mei 2023 – Pengumuman Pemenang (Masih dalam konfirmasi)

Pendaftaran dapat diakses di http://shorturl.at/vFL12 dan tidak dipungut biaya apa pun.
Naskah dikirimkan dalam bentuk softfile ke alamat riset@sadra.or.id.

CP
085813436806 (Imandega)

Bedah Buku “Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban”

Bedah buku “Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban” karya Majid Fakhry terbitan Sadra Press diselenggarakan tanggal 2 Mei 2019, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Karena itu, menurut Dr. Yusuf Rahman, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, dalam sambutannya menyatakan bahwa sudah tepat bila kita memanfaatkan hari ini dengan kegiatan positif, yaitu bedah buku.

Rahman menjelaskan bahwa Majid Fakhry adalah tokoh dalam filsafat Islam. Bahkan, karya Fakhry lainnya yang berjudul A History of Islamic Philosophy menjadi salah satu buku wajib mahasiswa Akidah-Filsafat.

Acara yang berlokasi di Gedung Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta ini dihadiri hampir 200 orang, dari kalangan mahasiswa, civitas dan pejabat UIN Jakarta, maupun dari kalangan umum. Acara ini menghadirkan Drs. Nanang Tahqiq M.A. dan Dr. Kholid al-Walid M.A. Keduanya terbilang pemateri otoritatif dan kompeten untuk mendiskusikan dan membedah karya Majid Fakhry ini.

Drs. Nanang Tahqiq, M.A.. pemateri pertama bedah buku ini yang merupakan dosen filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, senada dengan Dekan dan menganggap bahwa buku ini benar-benar buku filsafat Islam. Majid Fakhry dikenal sebagai sejarawan filsafat Islam, ia terampil untuk memetakan pemikiran Ibn Rusyd.

Karya ini berbeda dengan karya Fakhry sebelumnya, A History of Islamic Philosophy, yang kendati memuat pemaparan filsafat dan kalam, tetapi cenderung diulas dari aspek historis. Buku ini berbeda dan menurutnya karya ini adalah karya filsafat Islam.

Bagi Nanang, Sadra Press—penerbit buku Fakhry ini–memiliki banyak penerjemah bagus dan dia berharap semoga ke depan Sadra Press terus menerjemahkan karya-karya filsafat Islam. Begitu pula dengan terjemahan karya Majid Fakhry ini ternilai sangat baik, dapat dimengerti, dan karena itu perlu diapresiasi.

Namun, tak hanya memuji, Nanang juga memberikan kritik atas buku ini. Pertama, dari segi judul, menurutnya, kurang tepat penggunaan “Lentera Dua Peradaban”. Pasalnya, Ibn Rusyd awalnya diterima di Barat terlebih dahulu baru kemudian di dunia Islam. Ia diterima oleh dua peradaban pada abad ke-19, bukan ketika ia hidup atau tak lama setelah ia meninggal. Kedua, dari segi transliterasi, beberapa istilah dalam buku ini tidak konsisten dalam menggunakan transliterasi. Ketiga, ada kesalahan dalam penulisan karya Aristoteles yang berjudul Organon, dalam buku ditulis Orpanon [kendati memang setelah dicek dalam naskah asli Majid Fakhry memang ditulis Orpanon].

Sementara itu, menurut ketua STFI Sadra, Kholid al-Walid, filsafat Barat berhutang besar pada Ibn Rusyd. Hutang paling besar adalah penerjemahan karya Aristoteles dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Ibn Rusyd adalah penerjemah utama karya Aristototeles. Tak ada penerjemah karya Yunani yang melebihi kualitas terjemahan Ibn Rusyd. Kholid pun tak sependapat dengan Nanang terkait judul “Lentera Dua Peradaban” yang menurutnya sudah tepat.

Ibn Rusyd, kata Kholid, adalah orang yang paling luar biasa dalam menjawab Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf)-nya al-Ghazali. Kendatipun memang, sayangnya karya bantahan Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, ditulis sekitar tujuh puluh tahun setelahnya. Dalam bukunya itu, al-Ghazali menyerang filsafat secara membabi buta. Hal ini bisa dilihat dari isi bukunya yang menyatakan “Kalau ada orang yang bertanya apa yang harus dilakukan terhadap orang yang berfilsafat, maka bunuhlah ia.” Kholid kemudian menggarisbawahi bahwa memang al-Ghazali menulis Tahāfut al-Falāsifah ketika ia belum menjadi Sufi; yakni ketika pengetahuan dan pengalamannya belum sepenuhnya bijak. Para filosof pun, menurutnya, tidak terlalu memperhatikan karya Ghazali ini lantaran dianggap ‘kekanak-kanakan’.

Ibn Rusyd sebagaimana penjelasan Fakhry adalah titik sentral dari transformasi dunia filsafat [di Timur] ke dunia Barat. Ibn Rusyd mengkritik teori emanasi yang dikenalkan oleh filsuf Peripatetik. Dalam kaidah filsafat disebutkan, al-wāhid lā yashdhuru ‘anhu illā al-wāhid (yang tunggal tidak akan menghasilkan kecuali ketunggalan juga). Artinya, wājib al-wujĆ«d (wujud-niscaya-ada yang dalam konteks agama disebut Tuhan) adalah kemutlakan ketunggalan.

Dan karena ia mutlak, maka mustahil ia menghasilkan sesuatu yang plural. Sebab, jika ia menghasilkan sesuatu yang plural, maka ia juga plural. Padahal ia adalah ketunggalan mutlak. Hal ini sesuai dengan kaidah bahwa “sebab pasti memilki apa yang dimiliki akibat”. Karena, sebab itu lebih utama dari akibat, dan tidaklah mungkin sesuatu yang tidak memiliki sesuatu akan memberikan sesuatu, sebagaimana kaidah lain menyebutkan fāqid al-syay’ lā yu‘thi al-syay’ (yang tak punya tak akan memberi). Dengan demikian, kalau akibatnya plural, maka pluralitas pasti ada pada sebab. Kondisi semacam ini menyebabkan ijtimā‘ al-naqhidayn (berkumpulnya dua hal yang kontradisi), bahwa wājib al-wujĆ«d pada saat yang sama tunggal sekaligus plural. Bagi Ibn Rusyd, ini mustahil.

Kholid selanjutnya menjelaskan bahwa teori gerak Ibn Rusyd berjasa pada pemikiran Mulla sadra. Teori gerak Ibn Rusyd mengandaikan bahwa gerak adalah perubahan dari potensialitas menuju aktualitas. Sehingga, bagi filsuf Andalusia ini, gerak bukan hanya perpindahan. Gerak bukan hanya pindah dalam konteks tempat, melainkan juga dalam konteks berkembang. Pemaparan ini, menurutnya, dapat ditemukan dalam kitab al-Kawn wa al-Fasād-nya Ibn Rusyd.

Sebagai penutup, moderator acara ini, Ali Zainal Abidin, menyatakan bahwa Ibn Rusyd adalah seorang yang memiliki kecakapan enskilopedis. Ia bukan hanya ahli filsafat dan teologi, tapi juga ahli dalam bidang fikih, fisika, astronomi, dan kedokteran. Beberapa sejarawan filsafat menyebutnya sebagai pemikir ensiklopedis dan sebagai penafsir otoritatif pemikiran Aristoteles. Menurutnya, karena begitu dominannya pengaruh Ibn Rusyd, hingga di Barat berkembang Averroisme. Dan karena begitu dominannya mazhab ini, peneliti-peneliti filsafat di Barat ‘melupakan’ bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak berhenti di Ibn Rusyd, malah ia berlanjut dan dikembangkan oleh filosof-filosof setelahnya, dan yang terbesar di antaranya adalah Mulla Sadra.

Undangan Diskusi & Bedah Buku “Republic Plato ala Ibn Rusyd”

Kala menulis buku “al-DharĆ«rÄ« fÄ« al- Siyāsah: Mukhtashar Kitāb al-Siyāyah li AflāthĆ«n”—yang diterbitkan oleh Sadra Press dengan judul “Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum Inti Politik Plato”, Ibn Rusyd mengisyaratkan pada situasi buruk yang dapat mengancam dirinya. Hal itu terlihat pada ungkapan yang ditujukan kepada seseorang yang meminta dirinya agar menulis buku mengenai politik ini, ia mengatakan:

“Maka ini semua, semoga Allah melanggengkan kemuliaan­mu dan memanjangkan umurmu, sejumlah diktum-diktum ilmiah yang penting (al-dharĆ«riyyah) dari bagian ilmu ini (politik, al-‘Ilm al-MadanÄ«), yaitu diktum-diktum yang dinisbatkan kepada Plato, kami telah coba menjelaskannya sesingkat mungkin karena keterdesakan waktu.”

Ibn Rusyd—dalam buku ini—sengaja fokus pada “hal yang dianggap penting” (al-DharĆ«rÄ«), yang ditulisnya pada saat kondisi politik sarat dengan tindakan anarkis yang dapat mengancam kehidupan dirinya, se­hingga kondisi itu diungkapkan Ibn Rusyd sebagai masa yang melahirkan keterhimpitan, sebagaimana yang diungkapkannya dengan memakai ba­hasa yang lugas, seperti: “Keterhimpitan waktu”; “Jika Allah melapang­kan umur dan menyinari segala kesedihan dan keterhimpitan ini”; dan pengaduannya tentang, “Karena istilah filsafat pada masa kita sekarang selalu dicela oleh kalangan yang mengklaim dirinya menguasai ilmu syariat, mereka adalah para ulama yang dikenal banyak orang.”

Ia juga menggambarkan dirinya seperti seseorang yang rumahnya dilalap api, sehingga ia hanya berupaya menyelamatkan diri dan menyelamatkan barang-barang yang berharga. Posisinya pun diibaratkan seperti orang yang berada di antara serigala-serigala buas, hingga ia tidak mampu tenggelam larut ke dalam kebusukan, bahkan ia pun tidak merasa nyaman atas dirinya karena kebusukan tersebut.

Kondisi politik yang sarat dengan tindakan anarkis yang mengakibatkan adanya masa keterhimpitan yang menimpa diri Ibn Rusyd terjadi antara tahun 586- 590 H, masa ini pun merupakan masa setelah buku politiknya beredar, ia langsung diadili, hingga terjadilah tragedi Ibn Rusyd, di mana ia diasingkan dan karya-karyanya dibakar.

Seorang filsuf besar, pemikir Islam kenamaan, yang oleh Majid Fakhry dalam bukunya “Averroes: His Life, Works, and Influence”(insya Allah dalam waktu dekat diterbitkan oleh Sadra Press) digambarkan sebagai sosok yang menjulang dalam sejarah filsafat secara umum dan khususnya dalam Aristotelianisme, baik di Timur ataupun di Barat; mengungguli seluruh pendahulunya, mulai dari Alexander of Aphrodisias pada abad kedua, hingga Boethius pada abad kelima, dan Ibn Sina pada abad kesebelas, sosok yang merupakan penjelas paling cermat dari filsafat Aristoteles dalam bahasa dan negeri mana­pun, hingga di zamannya.

Dengan realitas semacam ini tidakkah Anda akan bertanya-tanya, mengapa Ibn Rusyd diperlakukan sedemikian rupa? Apa isi dari bukunya? Bukankah Ibn Rusyd selain seorang filsuf juga seorang ahli fikih yang saleh dan taat? Bahkan, dia pernah diangkat menjadi hakim agama (qādhī) di Sevilla (1169-1172) dan hakim kepala Cordoba (1172-1182)  serta bukunya Bidāyat al-Mujtahid menjadi rujukan para ahli hukum. Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Tentu banyak hal yang dapat didiskusikan dan didalami dari kisah dan pemikiran politik Ibn Rusyd. Dan untuk tujuan ini, Sadra Press (Sadra International Institute) dan STF Driyarkara sengaja menyelenggarakan dan mengundang Anda pada diskusi dan bedah buku Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum Inti Politik Plato  pada hari Senin 29 Oktober 2018 jam 11.00 WIB di Ruang 4 Gedung A STF Driyarkara. Dengan Romo A. Setyo Wibowo, ahli filsafat Yunani, dan Husain Heriyanto, ahli filsafat Islam, yang menjadi pematerinya.

Barangkali temen-temen tertarik, yuk bergabung dan konfirmasi kehadiran di link berikut http://sadrapress.com/form-bedah-buku-republik-plato/

Sebagai tambahan. bukan hanya pemateri “oke” yang kami sediakan, dapatkan juga sertifikat bagi Anda yang hadir.

 

Bedah Buku “Republic Plato ala Ibn Rusyd”

Selasa, 10 Januari 2017 jam 09.00 WIB, Sadra International Institute bekerjasama dengan STFI Sadra menyelenggarakan acara Bedah Buku “Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum inti Politik Plato”. Acara ini menghadirkan dua pembicara: penerjemah buku yang dibedah dan pakar filsafat Islam.

Penerjemah buku ini adalah Zainuddin M.A., yang terbilang berpengalaman dalam menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab, termasuk juga karya-karya Ibn Rusyd yang bertema filsafat. Sementara pembandingnya adalah Dr. Benny Susilo, salah seorang pengkaji filsafat Islam sekaligus dosen filsafat Islam di STFI Sadra.

Penerjemah membagi pengalamannya dalam menerjemahkan, termasuk dalam menerjemahkan buku ini. Dalam kesempatan ini, ia memaparkan tips-tips agar seseorang mudah dalam menerjemahkan. Ia juga menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengartikan istilah tertentu agar diksinya tepat dan akurat. Sementara itu, Dr. Benny memaparkan bagaimana pergulatan pemikiran politik di Yunani hingga akhirnya memengaruhi filsafat Islam. Terutama sekali pemikiran politik Plato mengenai ‘kota utama’, sebuah gagasan brilian dari Plato yang sayang dilihat secara pesimis oleh Plato sendiri. Sementara itu, Ibn Rusyd justru memandang sebaliknya, bahwa kota utama dapat direalisasikan. Untuk tujuan itu, dia membandingkan beberapa tipe kota/negara secara kritis.

Karya Ibn Rusyd yang dibedah kali ini sejatinya merupakan karya politik yang mengomentari pandangan-pandangan politik Plato dalam karyanya The Republic. Hanya saja, Ibn Rusyd mengomentari, mengulas, serta memberikan pandangannya yang khas terhadap sejumlah diktum penting (al-aqāwÄ«l al-dharĆ«riyyah) dari karya Plato ini. Dalam karyanya ini, Ibn Rusyd membuang “pengantar” Republic yang dianggap­nya tidak ilmiah dan tidak demonstratif. Ia juga membuang penutup yang terkesan merupakan tindakan bunuh diri politik, dan menggantinya dengan pernyataan-pernyataan yang ia ciptakan sendiri.

Bedah buku yang diselenggarakan di Auditorium Al-Mustafa STFI Sadra ini, dihadiri oleh kalangan mahasiswa, dosen, akademisi, dan masyarakat umum.

Bedah Buku “Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama”

Sabtu, 28 Juni 2014 jam 10.00, Sadra Press bekerjasama dengan Lingkar Studi Theosophia mengadakan bedah buku “Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama” karya Dr. Hasan Yusufian. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab “Kalam Jadid”.

Bertempat di Auditorium STFI Sadra, hadir sebagai pembicara pada acara ini adalah Dr. Husain Heriyanto, penulis dan peneliti kajian Agama, dan Akmal Kamil M.A. selaku editor buku ini serta Muhammad Nur Jabir M.A, sebagai moderatornya.

Dalam pembukaanya, moderator menjelaskan bahwa Buku “Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama” merupakan buku Daras, sebagaimana penulis buku ini juga menyebutnya demikian. Menurutnya, “Jika sebelumnya kita memiliki buku Daras Filsafat Islam, maka kini kita telah memiliki buku Daras Kalam Jadid yang diterbitkan Sadra Press. Dalam konteks Indonesia, Kalam Jadid masih belum mendapatkan tempat yang semestinya, kendati pembahasannya banyak dan wacananya senantiasa digulirkan.”

Senada dengan pernyataan di atas, dalam kesempatan tersebut, Dr. Husain menyatakan bahwa sebetulnya pembicaraan mengenai Kalam Jadid dalam konteks tema adalah sebuah hal yang kita bicarakan setiap hari, sesuatu yang tidak asing sebetulnya yang kita hadapi sehari-hari terkait isu-isu keagaamaan, spiritualitas, relasi agama dan politik, sekularisme, liberalisme, teori evolusi, dan lain-lain. Sehingga dapat kita katakan, “tiada hari tanpa Kalam Jadid”.

Dr. Husain melanjutkan, “Sebagai bidang studi, Kalam Jadid memang relatif baru, tetapi sebagai sebuah bahan pemikiran, ia adalah sesuatu yang sudah lama. Ada Ahmad Khan, Abduh, Muthahhari, Harun Nasution, dan H.M. Rasyidi misalnya, yang berkecimpung dengan isu-isu Kalam Jadid.”

Perlu diperhatikan bahwa pada masa kini, terdapat kebutuhan untuk menjawab secara filosofis persoalan-persoalan yang muncul, dan tidak sekedar dialektik. Karena itu, menurut Dr. Husain, “Gugatan orang-orang ateis tidak mungkin dijawab dari sudut ilmu Kalam. Kalam Klasik banyak diwarnai dengan pertentangan dengan internal Islam, meskipun ada juga isu-isu eksternal [yang dibahas], misalnya trinitas.”

Menurut doktor di bidang filsafat ini, secara keilmuan, teologi membutuhkan Filsafat, sebagaimana Sains juga membutuhkan Filsafat. “Ada konvergensi antara Sains, Teologi, dan Filsafat. Filsafat di sini berperan sebagai bahasa yang menjembatani antara kedua ilmu ini. Maka dari itu, penulis buku ini, Dr. Hasan Yusufian menyebutkan bahwa yang dia maksud Kalam Jadid adalah filsafat agama. Meskipun, menurut hemat saya, filsafat agama sepenuhnya menggunakan argumen demonstratif, karena merupakan bagian dari filsafat. Sedangkan, Kalam menggunakan argumen demonstratif plus argumen dari al-Qur’an, meskipun argumen al-Qur’an mungkin lebih digunakan sebagai premis mayor, di mana dalam proses pengambilan kesimpulannya memerlukan peran akal.”

Secara metodologis Kalam Jadid bisa disebut sebagai Filsafat Agama, tapi dari context of  discovery (latar belakang)-nya, ia termasuk Kalam. Dalam hermeneutika modern, hal tersebut sah-sah saja, yakni menggunakan pengalaman agama sebagai sumber refleksi dalam persoalan tertentu, tetapi tidak dalam konteks membangun atau menjustifikasi suatu argumen.

Penulis sendiri telah menguraikan dengan jelas istilah Kalam Jadid. Dan penjelasan tersebut dieksplorasi lebih jauh oleh pembicara lainnya, Akmal Kamil. Dia menyatakan bahwa istilah Kalam Jadid pertama kali diperkenalkan dalam Khazanah pemikiran Islam Sunni oleh Syibli Nu’mani, sedangkan dalam pemikiran Syiah diperkenalkan oleh Murtadha Muthahhari. Dari keduanya, para pemikir Muslim mulai berfikir untuk mengkonstruksi Kalam Jadid dengan memperhatikan masalah-masalah baru dalam Teologi. Misalnya, sebab-sebab kemunculan Agama, wahyu, bahasa agama, ilham, dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, imamah dan lain-lain.

Akmal menerangkan bahwa memang ada sebagian pemikir yang menyikapi Kalam Jadid dengan underestimate dan menganggapnya sebagai pelecehan terhadap Teologi Islam. Alasannya karena Kalam Jadid dianggap sebagai produk alih Bahasa dari terma Teologi Modern (Modern Theology) yang di-introdusir oleh Barat sebagai sikap terhadap lahirnya keragu-raguan baru dalam masalah Teologi.

Menurut Akmal, istilah “jadid” pada istilah “Kalam Jadid” tidak ditujukan pada aspek waktu, tetapi lebih pada persoalan-persoalan atau pendekatan-pendekatan baru dalam teologi. Karena itu, judul buku ini dalam edisi bahasa Indonesia “Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama” sudah tepat.

Mengenai tujuan ditulisnya buku ini, Akmal—dengan mengutip keterangan penulis—menyebutkan bahwa “Tidak ditulis hanya sebagai buku daras, tetapi juga agar kita akrab dengan isu-isu baru yang berasal dari Barat.” Dia melanjutkan, “Setiap pelajaran dari buku ini mengajak kita senantiasa terlibat dengan adanya bagian ‘Pikirkan dan Diskusikan!’, ‘Kesimpulan’ dan ‘Pertanyaan’. Sangat filsafat sebagaimana menurut Muthahhari, filsafat adalah Ilmu yang mengajak kita untuk berpikir. Buku ini adalah buku yang diberi penghargaan sebagai buku terbaik oleh Hawzah Ilmiah Qum. Banyak buku yang terbaik, tetapi hanya buku ini yang dipilih sebagai buku terbaik.”

Acara bedah buku ini dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswi STFI Sadra, aktivis, dan kalangan di luar kampus. Di akhir acara, panitia memberikan enam buku sebagai hadiah bagi lima penanya terbaik.

Bedah Buku “Hermeneutika Sastra Barat & Timur”

Jum’at, 2 Mei 2014, selepas salat Jum’at, Sadra Press bekerjasama dengan Fakultas Falsafah Universitas Paramadina mengadakan acara bedah buku “Hermeneutika Sastra Barat dan Timur”. Bertempat di auditorium universitas Paramadina, acara ini dimulai pada jam 13.30. Bedah buku ini menghadirkan Tommy Christomi (Ahli Sastra dan Hermeneutika Barat), Nanang Tahqiq (Pakar Kebudayaan Islam), Fuad Mahbub Siraj (Pakar Hermeneutika Islam), dan Abdul Hadi W.M. (Penulis) sebagai pembicara.

Buku “Hermeneutika Sastra Barat dan Timur” adalah karya Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., seorang budayawan, sastrawan, dan ahli filsafat. Puluhan karya sudah beliau hasilkan. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai pencipta puisi bercorak sufistik.

Dalam kesempatan tersebut, penulis menuturkan bahwa niat untuk menulis buku khusus tentang hermeneutika, baik hermeneutika filsafat maupun hermeneutika seni atau sastra, telah lama timbul dalam pikirannya. Terutama sejak meneliti karya-karya Hamzah Fansuri, penyair dan sufi agung dari kepulauan Melayu, untuk keperluan penulisan disertasi Ph.D di Universiti Sains Malaysia antara tahun 1992-1995, yang menghasilkan buku yang telah diterbitkan pada tahun 2001 yaitu Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Beberapa esai tentang asas-asas dan tehnik penerapannya juga telah dihasilkan, yang sebagian di antaranya telah dimuat dalam antologi esai seperti Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber (1999) dan Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas (2004). Akan tetapi hanya berkat permintaan Pusat Bahasa keinginan menulis buku tentang hermeneutika sastra dengan cakupan lebih luas dapat terpenuhi. Buku yang sekarang ini ada di hadapan hadirin merupakan hasilnya.

Penulis dalam kesempatan ini menekankan perlunya memberikan perhatian pada hermeneutika dan estetika. Baginya, perlunya estetika diberi perhatian bukanlah untuk kepentingan perkembangan sastra itu sendiri dan juga bukan untuk kepentingan ilmu sastra dan sejarah seni semata-mata. Keperluan yang lebih besar terbentang di dalamnya, yaitu bagi perkembangan ilmu kebudayaan atau humaniora secara umum.

Sebagaimana diketahui bahwa yang memberi ciri utama pada suatu kebudayaan adalah dasar-dasar pandangan hidup (way of life), gambaran dunia (Weltans­chauung), dan sistem nilai. Ciri ini terjelma  terutama dalam dasar-dasar etika dan estetika yang dijadikan suatu komunitas dalam me­ngem­­bangkan kebudayaan dan jati dirinya. Sebagai ungkapan estetik, sastra mencerminkan dinamika kebudayaan yang berkem­bang dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, penelitian sastra yang memperhatikan aspek-aspek estetik dan asas metafisika atau falsafah hidup yang ikut melahirkan suatu karya, dapat memperkaya dan memperkukuh perkembangan ilmu kebudayaan dan humaniora.

Lebih jauh, penulis menyebutkan bahwa peranan penting estetika dalam ke­hidup­­an manusia dan sejarah peradaban, khususnya dalam membentuk tra­disi kebudayaan suatu umat atau kaum, dapat dilihat dalam sejarah bangsa-bangsa yang memiliki peradaban agung seperti Yunani Kuna, Romawi, India, Cina, Jepang, Arab Persia atau Islam, Eropa Renais­sance dan Pencerahan. Hal yang sama dapat kita saksikan pula da­lam sejarah kebudayaan Jawa dan Melayu. Peradaban-peradaban yang telah disebutkan itu terbentuk dalam sejarahnya melalui in­ter­aksi yang dinamis dengan tradisi-tradisi besar dari luar yang mereka jumpai, baik di bidang intelektual, keagamaan, maupun peme­rintah­an. Kebudayaan Jawa dan Melayu tumbuh sedemikian rupa dan ber­kembang menjadi tradisi besar setelah perjumpaannya de­ngan ke­budaya­an India, Arab, Persia, Cina, dan Eropa, serta dengan agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam. Dalam proses transformasinya yang berkelanjutan sepanjang sejarah­nya itu, tidak­lah kecil peranan sastra dan seni. Kita tahu bahwa melalui karya sastralah cita-cita budaya dan falsafah hidup suatu bangsa, begitu pula sistem nilai dan pandangan dunia (Weltans­chauung) nya disebar­luas­kan dan meresap dalam kehidupan kha­layak luas.

Pembicara lainnya, Tommy Christomi S.SA., S.S., M.A., menyebutkan bahwa buku karya Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. ini amat dibutuhkan, terutama karena sedikitnya buku semacam ini di tanah air. Meski dalam pandangannya terdapat beberapa kritik terhadap buku ini, tetapi apresiasi yang tinggi layak diberikan. Sementara itu, Fuad Mahbub Siraj Ph.D. menjelaskan mengenai bagaimana hermeneutika dikenal dalam tradisi Islam. Adapun Nanang Tahqiq M.A. berupaya mendekati Hermeneutika dan Sastra dari kaca mata budaya.

Acara yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini, akhirnya ditutup dengan sesi tanya jawab dan foto bersama penulis.

Diskusi dan Launching Buku “Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam”

Bertempat di Auditorium al-Musthafa, kampus STIF Sadra, Jakarta, Sadra International Institute mengadakan diskusi sekaligus launching buku “Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam” karya Prof. Dr. Mohsen Gharawiyan. Acara yang dimulai tepat pukul 14.30 WIB di hari Jum’at ini menghadirkan dua pembicara, yakni penerjemah dan editor buku terkait. Penerjemah adalah Muhammad Nur, kandidat doctor di ICAS Jakarta dan termasuk penerjemah inti di Sadra International Institute. Adapun editor adalah Musa Kadzhim, editor handal beberapa penerbit bergengsi di Indonesia dan editor utama Sadra Press.

Acara yang dimoderatori oleh Andi Herawati─mahasiswa Magister ICAS─ini memberikan kesempatan pada editor untuk memulai diskusi. Dengan santai namun mengalir, editor kelahiran Jawa Timur ini menjelaskan siapa penulis buku dan keunggulan-kelemahan buku yang berjudul asli Dar Amadi Bar Amuzesye Falsafe ini. Musa mengawali dengan memperkenalkan siapa Mohsen Gharawiyan itu. Menurutnya, ia adalah murid Mishbah Yazdi. Ia juga seorang dosen dan pakar filsafat Islam.

Beranjak kemudian, setelah menjelaskan tentang siapa penulis, Musa melanjutkan dengan menjelaskan tentang keunggulan-keunggulan buku yang terbit bulan Maret lalu ini. Baginya, buku ini memiliki beberapa keunggulan, berikut di antaranya:

Pertama, buku ini –persis sebagaimana judulnya- mengantarkan pembaca pada diskursus filsafat Islam pada umumnya dan pada buku “Buku Daras Filsafat Islam” karya Mishbah Yazdi pada khususnya.

Kedua, buku ini memiliki keunggulan dalam sistematika dan metodologi sebagaimana halnya karya Taqi Mishabh Yazdi. Musa mengatakan, salah satu problem dalam  memahami teks-teks filsafat adalah problem metodologi yang cenderung rumit. Hal ini bisa kita lihat pada teks-teks filsafat semacam karya Mulla Shadra dan Sabzawari. Editor yang juga penulis ini mengilustrasikan karya-karya kedua filsuf Islam tersebut bila ditinjau dari segi metodologinya, seakan-akan melemparkan pembaca karyanya ke dalam hutan tanpa tahu harus kemana. Pasalnya, sistematika dan metodologi dari karya-karya mereka berdua yang cenderung rumit. Kontras dengan apa yang ditampilkan dalam buku Mohsen Gharawiyan ini.

Musa menambahkan, buku ini mengurai dan memberi peta fisafat Islam, sehingga apabila kita ingin mempelajari atau membaca filsafat Islam, dapat diketahui bahwa jalannya sudah benar dan ketahuan ujungnya akan kemana. Sudah banyak ditemukan teks filsafat Islam yang membutuhkan pendahuluan yang panjang, sehingga seseorang yang membaca teks filsafat tanpa pendahuluan ini, maka ia akan membaca filsafat dengan semangat memahami doktrin atau istilah-istilah, padahal rangkaian kata yang disusun atau istilah-istilah itu adalah argumen yang sudah dibuktikan sebelumnya. Contoh paling nyata dari tulisan semacam ini adalah Tajrid al-Iqtiqad karya Nashiruddin Thusi yang begitu rumit susunan kalimatnya. Bila ditelisik lebih jauh, susunan kalimat dalam karya ini, yakni perpindahan satu kalimat dari kalimat lain mungkin membutuhkan argumen tersendiri yang sudah dibahas di logika, pengantar logika, dan pengantar filsafat. Dampaknya, orang yang membacanya menjadi bingung tentang apa yang dimaksud oleh penulis. Oleh karena itu, tak heran bila buku ini memiliki banyak syarah.

Nah, ini yang berusaha dipecahkan oleh Yazdi dan muridnya, yakni dengan membangun sistematika pengajaran, di antaranya dengan memberitahukan manfaatnya. Yang diharapkan dengan mengetahui manfaat dari suatu pembahasan, kemudian akan berlanjut pada timbulnya motivasi untuk semakin mempelajari.

Ketiga, buku ini berhasil memberikan ilustrasi-ilustrasi, yang mampu mendekatkan konsep konsep yang disampaikan kepada benak pembaca. Ilustrasi semacam ini yang jarang ditemukan di Buku Daras Filsafat Islam-nya Mishbah Yazdi.

Keempat, berbeda dengan karya filsafat Islam lainnya yang biasanya menggunakan pendekatan ontologis, yaitu membahas langsung masalah wujud. Buku ini ─mungkin karena adanya interaksi yang cukup intens antara filsafat Barat dan Islam─ menggunakan pendekatan epistemologis.

Musa mengilustrasikan, seseorang yang langusng membahas wujud, bagaikan ditampar waktu tengah malam saat baru bangun tidur. Kaget tentunya. Nah, strategi untuk menghindari tamparan awal ini, yakni dengan menggunakan pendekatan epistemologis. Seperti, bahwa manusia itu bisa mengetahui dan pengetahuan itu dibagi ini dan ini; yang dipahami oleh akal itu adalah konsep, konsep tentang wujud itu jelas. Sehingga pelan-pelan pembaca di antarkan kepada pembahasan mengenai wujud. Tentu pendekatan semacam ini kontras dengan pendekatan ontologi yang digunakan dalam kitab Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah misalnya.

Kelima, ditulis dengan bahasa sederhana dan ringan.

Keenam, dari segi konten. Hal ini di antaranya bisa dilihat dari daftar isinya. Meski mungil dan kecil, tetapi buku ini merangkum survey yang lengkap, mulai dari membahas pembahasan inti filsafat hingga ‘aksesori’ filsafat.

Kendati demikian, Musa tak menampik bahwa buku terbitan Sadra Press ini juga memiliki kekurangan. “Tentu saja setiap keunggulan ada kekurangan”, begitu pria muda ini mengawali komentarnya tentang kekurangan dalam buku ini. Dari penjelasannya, diketahui bahwa setidaknya ada dua kekurangan dalam buku ini. Pertama, buku ini seolah dibuat tidak sesuai dengan standar ilmiah penulisan buku. Boleh jadi, hal ini adalah imbas dari pola penulisan Yazdi sendiri, yang dalam beberapa karyanya tidak memberikan referensi. Namun, Musa melanjutkan, kekurangan ini bisa dijawab [dan mungkin dimaklumi], mengingat bila harus menyebutkan banyak komentar-komentar tokoh dan referensi-referensi lainnya, tentu akan berdampak pada tebalnya buku ini dan nantinya juga berdampak pada kurangnya kegunaan buku [yakni sebagai buku pengantar]. Kedua, penulis buku ini juga kurang rajin dalam memberi footnote, sehingga tak heran jika buku ini minim footnote.

Muhammad Nur yang menjadi pembicara kedua juga memberikan beberapa komentar terkait buku ini, yang diantaranya senada dengan apa yang dijelaskan Musa. Namun, pria yang kala itu berkemeja batik ini juga memberikan sisi lain terkait buku ini dan penulisnya.

Menurutnya, ada dua model buku, yakni; teks book (buku daras) dan buku bacaan. Nur menambahkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis buku ini sendiri, buku ini adalah pengalaman penulis semasa mengajar buku daras filsagat Islam, di mana dari pengalamannya tersebut, buku ini tergolong masih terlalu berat bagi pemula. Karena itu, dibutuhkan buku lain yang dapat menjadi pengantar bagi buku tersebut. Dalam klasifikasi dua model di atas, buku ini cenderung sebagai buku bacaan, karena memang didesign lebih sederhana dan lebih mudah ketimbang buku Daras Filsafat Islam.

Masih menurut Nur, di Iran buku ini menempati posisi yang penting. Dalam pengajaran filsafat, ia menjadi buku teks baik di tingkat hauzah maupun di universitas. Hal ini terbilang lumrah, mengingat dinamikan pemikiran filsafat di Iran cenderung berkembang. Filsafat Islam senatiasa berjalan dan dikaji, karena itu tantangannya senatiasa ada. Dan salah satu tantangan filsafat saat ini adalah bagaimana menurunkan filsafat dari “menara gading” ke ranah yang lebih praktis dan lebih menyentuh pada persoalan kesehari-harian kita. Pada beberapa titik, buku ini patut diapresiasi mengingat ia berhasil ‘turun’ lebih dekat untuk lebih mudah dipahami.

Terkait problem penerjemahan, Nur tak menampik bahwa kesulitan dalam penerjemahan selalu ada. Dan diantara solusinya, penerjemah harus mengetahui pembahasan yang akan diterjemahkan sebelum menerjemahkan. Adapun bila saat proses terjemahan ada problem transliterasi istilah, Nur menyarankan agar meminjam istilah dari Bahasa Inggris terlebih dahulu, baru kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Menurutnya, hal ini dipilih karena bahasa Indonesia miskin istilah. Pada titik ini, ia setuju dengan Musa, bahwa harus adafootnote untuk menjelaskan istilah-istilah yang dirasa perlu penjelasan lebih.

Terakhir, setelah dua pembicara selesai berbicara, diskusi buku siang itu diwarnai oleh tanya-jawab antara peserta-pembicara. Lalu, acara akhirnya ditutup dengan pembagian buku gratis bagi semua penanya dan foto bareng dengan penerjemah dan editor.