Yaumul Quds dan Tiga Misi Pembebasan Muslim Sedunia

Sudah puluhan tahun semenjak Palestina mengalami pendudukan dan jutaan Muslim mengalami pengasingan, penyiksaan hingga pembantaian. Dari anak-anak, perempuan hingga laki-laki dewasa semua tidak luput dari penderitaan. Sementara mereka terisak dan khawatir akan ancaman rudal, sebagian besar umat Muslim lain dapat tidur nyenyak.

            Berbagai upaya diplomatis dalam beragam tingkatan dari individu hingga internasional juga telah dilakukan. Usaha mandiri dari bangsa-bangsa Muslim serta resolusi atau—faktanya, intervensi dari bangsa-bangsa besar dunia juga telah diupayakan. Sayang, tidak juga tanah Quds terbebas dari cengkeraman penjajahan.

            Yaumul Quds yang selalu dirayakan pada setiap jumat terakhir di bulan ramadhan harusnya menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan kondisi yang masih berlangsung. Dimana yang keliru? Apa yang telah kita lewatkan? Bagaimana agar saudara kita di Palestina dapat segera merasakan kemerdekaannya?

            Berpijak pada kegelisahan itu, penulis mendedahkan tawaran mengenai tiga langkah pembebasan tanah Quds. Mereka dipandang sebagai langkah-langkah yang selama ini terabaikan atau kurang banyak diberi perhatian. Ketiganya menjadi pekerjaan rumah yang seharusnya telah lama jadi fokus gerakan muslim seluruh dunia.

Penyadaran

            Gerakan pembebasan Quds harus dimulai dari pembangunan kesadaran di tengah-tengah seluruh komunitas Muslim. Bahwa yang sedang terjadi bukan hanya persoalan terbatas sebagian masyarakat Palestina yang dirampas hak-haknya. Melainkan, ia adalah persoalan masyarakat Muslim seluruhnya di setiap penjuru dunia.

            Kesadaran yang diciptakan harus meliputi kesadaran bahwa sesama Muslim, tidak peduli berasal dari mana saja, adalah bagian dari tubuh sebuah komunitas yang satu. Menyakiti suatu bagian berarti menyakiti semua. Respon bangsa Muslim yang bersifat fragmentatif dan sporadis sebagaimana terjadi selama ini menggambarkan masih minimnya kesadaran itu.

            Nyatanya, kesadaran akan ikatan persaudaran universal umat Muslim belum tersimpul. Masing-masing bangsa terjebak dalam primordialitas dengan membanggakan atau mengutamakan suku atau rasnya. Fakta ini justru menampakkan kejatuhan moral Muslim yang dulunya telah dipersatukan oleh Nabi Muhammad dalam akidah dan ukhuwah Islamiyah.

            Belum lagi keterbelahan umat Islam yang telah terjadi karena konflik politik sunni-syiah, harus dicarikan penawar. Ketegangan di timur tengah karena isu-isu perbedaan pandangan keagamaan dalam tubuh umat Islam itu merupakan halangan terbesar. Kita bisa melihat bagaimana gerakan pembebasan Quds terhambat karena motif ini dibelakangnya.

Pemerdekaan

            Makna merdeka sering dikerdilkan kepada makna kedaulatan sebuah bangsa dalam memerintah negaranya. Padahal, merdeka memiliki dua sisi mata uang yang harus dimiliki seutuhnya untuk benar-benar dapat menyatakan kemerdekaan diri. Memiliki satu sisi makna tidak meniscayakan kemerdekaan yang sejati. Banyak negara yang dianggap merdeka, nyatanya sekedar negara boneka bangsa penguasa.

            Makna merdeka pertama adalah merdeka dalam aspek negatif yang bermakna bebas dari paksaan atau tekanan pihak lain. Demikian itu secara kasat mata dimiliki mayoritas umat Muslim kecuali di Palestina. Namun merdeka yang hakiki adalah dalam makna kedua. Merdeka yang bersifat positif dan berarti memiliki kemampuan untuk bersuara dan mewujudkan aspirasinya.

            Kemerdekaan positif jarang dimiliki karena kebanyakan bangsa Muslim tersandera oleh kepentingan jangka pendek. Entah khawatir kehilangan mitra koalisi atau dukungan pendanaan. Bukan rahasia bahwa Israel berhasil bertahan melalui Amerika yang selama ini dipandang superpower. Yang jelas akibatnya bangsa-bangsa Muslim tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan pandangan mereka.

            Kesadaran mengenai kesatuan tubuh umat muslim dan bahwa Quds adalah bagian dari sejarah budaya dan identitas Islam harus dilanjutkan dengan kesadaran mengenai kualitas kemerdekaan bangsa-bangsa Muslim. Dulu bangsa Muslim adalah bangsa besar yang suaranya memiliki pengaruh besar. Namun, jangankan berpengaruh, kini banyak bangsa Muslim yang tidak memiliki cukup nyali untuk bersuara.

            Embargo yang dilakukan kepada misalnya Iran telah cukup meyakinkan kebanyakan bangsa Muslim untuk menunduk lesu. Bagi mereka, kenyamanan pribadi jauh lebih berharga, mewah, ketimbang kemerdekaan saudara-saudara di Palestina.

           
Penyetaraan

            Memiliki kemerdekaan dalam makna negatif dan positif tidak juga cukup untuk mendorong pembebasan Quds. Kenyataannya, ada 40 lebih negara dengan jumlah Muslim yang besar. Belum lagi jika menengok muslim-muslim lain di negara-negara Barat atau negara-negara dimana muslim sebagai minoritas.

            Namun, Islam yang diwakili bangsa-bangsa dan komunitasnya yang jika dipadu berjumlah besar itu tidak memiliki kesamaan hak dalam menentukan nasib Israel. Disinilah justru penting dipahami dan harus dicamkan. Bagaimana mungkin akan muncul solusi konkrit di panggung liga bangsa-bangsa dunia bila segala keputusan bisa di veto oleh beberapa negara saja?

            Kemerdekaan menjadi tidak berarti apa-apa. Kita bisa mengelola segala sumber daya dan menentukan lagu, bendera dan lambang negara. Tapi di mata dunia, bangsa-bangsa Muslim tidak lebih dari sapi perah yang menyalurkan sumber daya alam kebutuhan negara maju. Ironisnya, kita juga adalah pasar terbesar yang mengonsumsi produk mereka.

            Jika saja kedudukan semua bangsa setara kebuntuan situasi yang terjadi di Palestina pasti tidak berlangsung berlarut-larut. Semua bangsa Muslim dan mayoritas negara lain tahu sejarah yang sebenarnya terjadi. Bahwa bangsa Palestina yang telah turun-temurun hidup diusir dari tanah nenek-moyangnya. Mereka juga menginginkan pembebasan Palestina segera.

            Namun persoalannya bangsa-banga Muslim dipandang rendah. Bangsa-bangsa Muslim tidak memiliki signifikansi karena ketergantungannya kepada yang lain. Ketergantungan itulah benalu yang menyandera mereka dalam melakukan tindakan yang secara nyata akan mengubah kondisi di tanah Quds.

Kesimpulan

            Kemerdekaan Palestina hanya dapat dicapai jika tiga hal telah terkonsolidasi. Kesadaran akan persaudaraan universal Islam yang menjadikan Palestina bukan sekedar suatu tanah bangsa Arab yang jauh di sana. Melainkan Palestina adalah saudara kita, kakak, adik, tumpah darah yang sama dengan kita.

            Kita juga harus merenggut kemerdekaan yang sejati dan utuh bagi bangsa-bangsa Muslim terlebih dahulu. Bagaimana caranya agar memiliki otonomi sehingga terdapat kapasitas untuk menyatakan pandangan tanpa takut diintervensi? Sebab toh percuma memiliki keresahan yang sama namun enggan jujur karena khawatir persepsi bangsa lain.

            Terakhir, kemerdekaan tidak berarti apa-apa jika bangsa-bangsa Muslim tidak dipandang setara, sama tinggi. Bahwa kemerdekaan Palestina harus dimulai dari kesetaraan, bahkan kekuatan persatuan bangsa-bangsa Muslim di pentas dunia. Saat itulah tidak hanya membebaskan Palestina, Islam juga hadir kembali di dunia sebagai kekuatan yang disegani.

Ahmad Amin Sulaiman

[Review Buku] Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban

Averroes: His Life, Works and Influence [baru diterbitkan oleh Sadra Press dengan judul Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban] adalah pengantar pada filosofi dan teologi Ibn Rusyd yang mudah dibaca, informatif, dan menarik. Karya ini ditulis dengan baik, sederhana, jelas, dan dapat diakses, dan cocok untuk siswa maupun orang awam. Seperti dalam tulisan-tulisan lainnya, Fakhry ternilai unggul dalam meringkas ide-ide dan argumen-argumen filosofisnya. Dia menetapkan argumen-argumen filosofis tersebut dalam konteks filosofisnya yang tepat, dan memperkayanya dengan perdebatan dan diskusi kontemporer.

Karya Fakhry ini memuat pendahuluan, 11 bab, dan sebuah kesimpulan. Pendahuluan menyajikan sejarah singkat filsafat umum dan Islam, dan menempatkan Ibn Rusyd di dalamnya. Bab 1 menceritakan biografi Ibn Rusyd, dan mendaftar serta menjelaskan karya-karyanya. Bab 2 dan 3 menetapkan kerangka kerja polemik dari karya Ibn Rusyd: Kritiknya terhadap Ibn Sina dan Aristotelianisme yang ter-Neoplatonis-kan dari Ibn Sina, dan tanggapannya terhadap al-Ghazali dan pandangan teologisnya. Banyak pokok bahasan utama yang dibahas dalam bab-bab selanjutnya, di antaranya: emanasi, daya akal aktif, esensi dan eksistensi, fakultas jiwa, penciptaan, pengetahuan Ilahi, kebangkitan, dan kausalitas alamiah.

Diskusi filosofis dan teologis utama ditemukan di bab 4 hingga 9. Di sini Fakhry merangkum ide-ide Ibn Rusyd tentang kategori, konsepsi dan asersi; memperkenalkan fisika dan kosmologinya; mendiskusikan psikologi dan teori konjungsinya; menggambarkan teorinya tentang penciptaan bersinambung dan terputus; merangkum ide-ide etis dan filsafat politiknya; dan secara singkat menjelaskan karya hukum utamanya dan ringkasan medis. Sepanjang pemeriksaan ide dan doktrin filosofis dan teologis, penekanannya adalah pada kesatuan pemikiran Ibn Rusyd dan kedekatannya dengan Aristoteles. Inkonsistensi dalam tulisan-tulisan Ibn Rusyd kadang-kadang dicatat, tetapi tidak pernah dibahas.

Dua bab terakhir dan kesimpulan kemudian fokus pada penerimaan—di Eropa Kristen, oleh Thomas Aquinas, dan di dunia Arab, di Abad Pertengahan dan Zaman Modern. Di sini kontras antara penerimaan Ibn Rusyd di Timur dan Barat sangat mencolok. Sementara sebagian besar karya Ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin atau Ibrani dan dipelajari dengan tekun di Eropa Kristen, sebaliknya karya-karya ini diabaikan, ditolak, atau dikritik tajam di dunia Islam. Bahkan di Zaman Modern, Fakhry mencatat, ketika Ibn Rusyd telah mengalami sedikit kebangkit

an di dunia Arab, ia lebih diakui  untuk cita-cita budaya yang ia wakili ketimbang filsafat aktualnya. Hingga, misalnya, ia telah dipilih sebagai model sekularisme, pencerahan, dan bahkan Marxisme, atau, sebaliknya, dicela lantaran pandangan agamanya—karena mengutamakan “ilmu-ilmu asing” di atas kitab suci dan tradisi.

Baca: [Buku Baru] Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban

Baca: Karya Politik Kontroversial Ibn Rusyd

Tonton Video: Ini lho buku baru Majid Fakhry

Diskusi Fakhry disajikan dengan cara meringkas teks-teks asli. Ada referensi ke sumber sekunder atau terjemahan yang jarang, dan sumber sekunder yang digunakan sudah usang. Ini sendiri tidak bermasalah; tentu saja tidak perlu membebani pembaca awal dengan bibliografi. Tetapi dalam beberapa kasus, konsultasi kesarjanaan baru-baru ini dapat membantu penulis menghindari kesalahan. Referensi ke kesarjanaan terbaru juga dapat mengarahkan pembaca ke studi yang lebih rinci tentang satu subjek atau yang lain, dan dapat membantu memoderasi penilaian awal Fakhry bahwa “sangat sedikit perhatian terhadap karya Ibn Rusyd dalam bahasa Inggris” (vii).

Beberapa contoh dapat mengilustrasikan poin-poin ini: Ibn Rusyd menulis komentar bukan pada Metafisika Nicolaus dari Damaskus (3) tetapi pada De Plantis, yang baru-baru ini direkonstruksi dari sumber-sumber Ibrani (lihat Nicolaus Damascenus De Plantis: Five Translations, 1989). Risalah singkat berjudul “Apa yang peripatetik dan teolog agama kita percaya sehubungan dengan cara keberadaan dunia adalah dekat maknanya” mungkin hilang dalam bahasa Arab asli (seperti catatan Fakhry, 4), tetapi versi bahasa Ibrani, yang sudah diterbitkan pada abad kesembilan belas, tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Barry Kogan (dalam Islamic Theology and Philosophy, ed. M. Marmura, 1984).

Apologi Fakhry tentang klasifikasi logis Averroes di Poetics (41-42) memang tampak sangat aneh setelah karya Deborah Black, yang telah menunjukkan implikasi menarik dari “konteks” ini (Logic and Aristotle’s Rhetoric and Poetics in Medieval Arabic Philosophy, 1990). Dalam pembahasan tentang jiwa, Fakhry mengutip risalah Ibn Rusyd tentang konjungsi (ittishāl) (71), yang, seperti ditunjukkan oleh Charles Burnett, ditulis bukan oleh Ibn Rusyd, melainkan oleh putranya, Abdullah (lihat arsip d’histoire doctrinale et littéraire du moyen âge 67, 2000, 295-335).

Diskusi tentang jiwa secara umum, lebih jauh, bisa mendapat manfaat dari buku tahun 1992 karya Herbert Davidson, Alfarabi, Avicenna, & Averroes on Intellect, yang merupakan salah satu karya standar pada subjek yang sama. Akhirnya, ketika membahas Aquinas tentang penciptaan, Fakhry mengacu pada referensi Maimonides mengenai al-Farabi dalam Guide of the Perplexed 2:15, dan menunjukkan bahwa Harmonisasi al-Farabi adalah sumber terdekat (159). Meskipun ini mungkin sumber langsung Maimonides, ia mungkin juga telah mengambil dari ringkasan al-Farabi tentang Topik, seperti yang diusulkan pada 1965 oleh G. Vajda (lihat Jurnal Asiatique 253, 43-50).

Kegagalan untuk memeriksa penelitian yang belakangan ternilai sangat problematis dalam bab 10, yang hampir seluruhnya didasarkan pada monografi Renan 1852, Averroès et l’averroïsme. Bahkan, hampir semua yang ditulis pada h. 132-133 tidak tepat. Beberapa contoh dari tradisi Ibrani akan cukup untuk mendukung klaim ini: Terjemahan Averroes ke dalam bahasa Ibrani bukan “dimulai oleh orang-orang Yahudi Spanyol” tetapi oleh orang-orang Yahudi di Perancis Selatan (yang secara umum dapat dilihat di Gad Freudenthal, Revue des études juives 152 (1993), 29-136, dan M. Zonta, La filosofia antica nel Medioevo ebraico: Le traduzioni ebraiche medievali dei testi filosofici antichi, 1996).

“Samuel Ben Tibbon” tidak mendasarkan “Pendapatnya dari para filsuf khususnya dari Ibn Rusyd.” Ini adalah karya Shem Tov Falaquera, yang penggunaan Ibn Rusydnya jelas didokumentasikan oleh Steven Harvey (lihat The Medieval Hebrew Encyclopedias of Science and Philosophy, 2000). Apa yang dilakukan oleh Samuel Ben Tibbon adalah menghasilkan terjemahan bahasa Ibrani pertama dari sebuah karya Ibn Rusyd. Dia menerjemahkan tiga risalah serangkai, dua karya Ibn Rusyd, dan satu karya putra Ibn Rusyd, Abdullah (lihat lagi Burnett, serta C. Steel dan M. Geoffroy, diedit dan diterjemahkan, Averroès, La béatitude de l’âme, 2001).

Jacob Anatoli, bukan “Joseph Anatoli,” menerjemahkan komentar-sedang [tidak pendek atau lengkap] Ibn Rusyd tentang organon [karya Aristoteles] ke dalam bahasa Ibrani (hanya melalui Analytica Posteriora; Isagoge dan Categories telah diedit dan diterjemahkan oleh H. Davidson); Anatoli juga menerjemahkan ringkasan Ibn Rusyd tentang Almagest, yang sedang diedit oleh Julian Lay (lihat Arabic Sciences and Philosophy 6, 1996, hlm. 23-62). Qalonymus b. Qalonymus dari Arles, yang menerjemahkan beberapa karya Ibn Rusyd ke dalam bahasa Ibrani pada abad keempat belas, tidaklah sama dengan Calo Calonymus yang menerjemahkan Incoherence [Tahāfut al-Tahāfut] ke dalam bahasa Latin pada abad keenambelas. Dan sementara Todros Todrosi menerjemahkan Retorika dan Puisi sedang, dia tidak bertanggung jawab atas Topik sedang, Sanggahan Sophistik, atau Etika; ini adalah karya Qalonymus b. Qalonymus dan Samuel b. Yehuda dari Marseille (untuk komentar tentang Etika, lihat edisi Lawrence Berman, diterbitkan pada tahun 1999).

Satu poin terakhir juga perlu disebutkan. Dalam buku ini, seperti dalam tulisan-tulisan sebelumnya, Fakhry menyebut al-Farabi dan Ibn Sina sebagai “Neoplatonis Muslim”. Klasifikasi ini pantas mereka terima, Fakhry berpendapat, terutama karena teori emanasi dan doktrin intelek aktif mereka, keduanya dipengaruhi oleh Plotinus dan Proclus (melalui pseudepigraphical “Theology of Aristotle” dan “Book of Causes”). Dapat ditambahkan bahwa mereka dipengaruhi oleh Neoplatonisme kuno yang belakangan terkait dengan metode, bentuk sastra, dan juga klasifikasi ilmu.

Apa yang harus diingat, bagaimanapun, adalah bahwa al-Farabi, Ibn Sina, dan yang lain menganggap diri mereka sebagai “filsuf,” “peripatetik,” dan “pengikut mazhab Aristoteles,” dan sering berdebat melawan Plato dan Neoplatonis sebelumnya. Yang memperumit masalah, fisika dan logika terestrial mereka sebagian besar adalah Aristotelian, dengan pengaruh Stois (Stoic); astronomi mereka terutama adalah Ptolemeus; dan konsepsi mereka tentang pengaruh surgawi pada dunia sublunar dikondisikan oleh astrologi. Bahkan jika mereka adalah “Neoplatonis,” maka harus diperjelas bahwa ide-ide Neoplatonik hanyalah bagian dari tradisi filosofis yang kompleks. Dengan kata lain, mereka lebih dekat dengan Ammonius, Simplicius, dan Philoponus, daripada ke Plotinus, Lamblichus, dan Proclus.

Sebagai kesimpulan, terlepas dari kesalahan faktual dalam buku Fakhry dan klasifikasi kontroversial filsuf Islam Abad Pertengahan sebagai “Neoplatonis,” karya Fakhry ini adalah pengantar yang sederhana, jelas, dapat dibaca, dan berguna bagi filsafat dan teologi Ibn Rusyd.

 

James T. Robinson

The University of Chicago

 

(Sumber: https: Early Science and Medicine, Vol. 10, No. 3, h. 436-439.)

 

Menyibak Hakikat Realitas dengan Wahyu dan Akal

Indra dan akal acap kali menemui jalan buntu dalam upayanya mengivestigasi hakikat realitas. Keduanya juga diyakini tidak mampu membuka jalan menuju kebahagiaan. Kelemahan tersebut mengantarkan pada pencarian sumber-sumber epistemologi lain. Manusia banyak berharap pada wahyu untuk dapat mengungkap berbagai misteri mendasar kehidupan ini karena wahyu menyatakan diri sebagai sumber alternatif tersebut.

Para rasul mengumumkan kepada khalayak akan penunjukan mereka oleh Tuhan atas penerimaan pengetahuan wahyu. Akal manusia tentu tidak begitu saja menerima kehadiran kenabian tersebut. Akal kemudian berjuang untuk melakukan pembuktian keberadaannya. Menurut penulis, akal dapat menerima wahyu sebagai sumber pengetahuan dengan syarat, wahyu dicerna secara benar (logis) dan baik (metodis). Maksud logis di sini yaitu melakukan pembuktian menggunakan hukum-hukum kemestian akal yang apabila terjadi penyangkalan maka akan memabawa pada kemustahilan. Sedangkan yang dimaksud dengan metodis adalah menggunakan pembuktian kesimpulan-kesimpulan pembuktian logis secara berurutan dan cermat. Hasilnya, keputusan akal memposisikan diri untuk dapat menerima pengkhabaran-pengkhabaran yang diungkapkan oleh wahyu. Begitu juga para rasul mengajak manusia untuk melibatkan akal dalam memahami wahyu. Keduanya membawa pada hubungan kemestian yang harmonis.

Penyandingan yang setara wahyu dan akal, menurut penulis, merupakan kemestian yang dituntut oleh wahyu dan keputusan akal sekaligus. Wahyu mengajak untuk menggunakan potensi akal sehat yang telah dianugerahkan,sedangkan akal menerima pengetahuan wahyu pada ranah dimana akal tidak lagi dapat bekerja berdasarkan hukum-hukum kemestian logis. wahyu dan akal merupakan dua perangkat yang menjadi utusan Allah dalam memainkan fungsi sentralnya menyibak tirai hakikat mendasar realitas.

Posisi setara antara akal dengan teks wahyu, menurut penulis dikarenakan keduanya merupakan utusan Tuhan kepada Manusia. Wahyu yang diturunkan kepada para nabi menjadi ayat pentunjuk yang berada di luar diri sementara akal juga merupakan ayat yang Allah anugrahkan berada di dalam diri. Yang satu bertindak sebagai perutusan internal dan yang lain bertindak sebagai perutusan eksternal. Wahyu mengkhabarkan bahwa Manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainya karena potensi akal yang dimilikinya. Melalui akal manusia dapat meraih pengetahuan dan mengantarkan pada pengenalan akan realitas.Keputusan akal juga memberi kesimpulan yang sama dalam mengenal fungsi batasan yang dimilikinya setelah mengarahkan dirinya pada realitas.

Menurut penulis, perangkat epistemologi dalam meraih pengetahuan dicapai dengan dua jalan. Pertama, jalur umum yang terbuka bagi semua orang dan Kedua, jalan khusus yang hanya dilimpahkan hanya kepada orang-orang tertentu. Perangkat epistemologi jalur umum, yaitu indera dan eksperimen, pemikiran dan pembuktian rasional, teks (naql) dan penyaksian batin (syuhudbathini). Melalui keempat jalur epistemologi tersebut, manusia dapat meraih pengetahuan yang meyakinkan sesuai dengan tingkat realitas ontologisnya. Sedangkan jalur khusus dalam menerima pengetahuan adalah jalan kenabian dan kerasulan yang jalan pencapaiannya dipilih oleh Allah secara lansung. Meski berada diluar kehendak manusia, jalan ini justru ditujukan untuk seluruh umat manusia.

Penulis juga menjelaskan bahwa agama bukanlah lawan dari akal namun teks (naql) yang semestinya menjadi lawan dari akal. agama disamping mengandung hukum tetap dan abadi juga memiliki dimensi temporeritas yang tentu keduanya dicapai melalui hasil kerja akal terhadap teks wahyu. Dengan demikian, akal tidak pernah dipertentangkan dengan agama karena justru ia menjadi alat untuk memahami teks wahyu dimana kesimpulan hukum yang berasal dari keduanya itulah disebut dengan agama.

Pada bagian awal buku ini, kita diajak untuk memahami beragam definisi akal. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan penolakan sebagian aliran filsafat baik Muslim maupun non-Muslim terhadap agama. Penolakan terjadi dikarenakan, menurut penulis, adanya rasionalisme radikal yang membelenggu mereka. Rasionalisme radikal ini muncul akibat tidak diaplikasikannya hukum-hukum akal dengan tepat yaitu tidak memenuhi syarat logis dan metodis sebagaimana disinggung diatas. Pembahasan kemudian beranjak pada penyangkalan peran akal oleh literalis Ahlusunnah maupun Syiah. Kaum literalis hanya mencukupkan diri pada makna literal teks dengan mengharamkan penafsir untuk bergerak lebih jauh menginterpretasikannya. Pada pagian akhir, diskusi ditutup dengan menampilkan pembahsan akal dalam pandangan Islam menurut persepektif penulis.

Pembahasan yang menuntut ketelitian ada pada bab yang diberi judul oleh penulis dengan “Wahyu dan Penyaksian Sufistik.” Pada bab ini penulis mengkritik pandangan sebagian ‘arif yang terkesan merendahkan peran akal dengan menggunakan argumentasi dari para ‘arif lainnya. Ironisnya, para ‘arif yang menempatkan peran akal pada tempat yang semestinya berdasarkan persfektif penulis tersebut,  tidak pernah mempersoalkan bahkan membela sebagian ‘arif yang dikesankan merendahkan derajat akal. Misalnya, di dalam buku ini banyak sekali kutipan langsung dari Maulana Jalaluddin Rumi dan para ‘arif lainnya yang terkesan merendahkan akal namun bisa dilihat Mulla Shadra yang argumentasinya menjadi rujukan penulis mengangkat Rumi sebagai orang yang memiliki kedalaman ilmu dan ma’rifah. Jika ingin ditunjukkan kekurangan isi buku ini, kebingungan penulis dalam persoalan ini menjadi catatan penting. Namun pembahasan-pembahsan sebelumnya menjadi sesuatu yang perlu untuk dibaca.

Pada akhirnya, buku ini layak dibaca sebagai pengantar memahami perdebatan hakikat whyu dan akal serta relasi diantara keduanya. Persoalan ini memang merupakan perdebatan klasik dalam tradisi kalam dan filsafat Islam namun sebagaimana dinyatakan penulis bahwa persoalan ini tidak akan pernah berhenti dibicarakan dan diperdebatkan. Hal itu mengingat peran sentralnya dalam menjawab msiteri kehidupan manusia. Selamat membaca.

_____________________________________________

Judul         :  Akal Dan Wahyu: Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat

Pengarang:  Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi

Penerbit    :  Sadra Press 2011

Peresensi  :  Mulyani, mahasiswa program magister filsafat Islam, Islamic College-Paramadina, Jakarta.

Mengenal Karya Besar Para Sufi via “Warisan Agung Tasawuf”

Sejak beberapa tahun terakhir, tasawuf, yang disebut pula Sufisme atau ‘Irfan, telah digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Kegandrungan ini muncul pasca modernisme gagal dan tidak mampu menjawab serangkaian problema serta mengobati kegelisahan dan pencarian spiritual manusia. Sebagaimana diketahui, pencarian dan pemenuhan kebutuhan manusia terhadap sesuatu yang langgeng dalam dirinya merupakan suatu kodrat.

Tasawuf adalah sumber kehidupan batiniah dan pusat yang mengatur keseluruhan or­ganisme keagamaan Islam. Jika Islam diibaratkan sebagai tubuh, maka tasawuf adalah jantungnya. Hubungan antara tasawuf dan Islam dapat pula diumpamakan dengan hubungan ruh dan jasad. Dapat dipastikan bahwa manusia tidak mungkin hidup, bergerak, dan mengatur dirinya, meskipun jasadnya masih utuh, jika tidak memiliki ruh. Demikian pula Islam, tanpa tasawuf—atau disebut dengan istilah apa pun seperti spiritualitas, keruhanian, dan ihsān— yang merupakan “ruh” akan menjadi agama yang menekankan hanya aspek lahiriah, aspek formal, yang tidak berfungsi membangun karakter tangguh, akhlak mulia, untuk mengangkat martabat manusia (Warisan Agung Tasawuf, 2015).

Salah satu cara untuk memahami dan mengenal tasawuf adalah melalui karya-karya besar (magnum opus) yang ditulis oleh para pelaku dan pengamalnya, yakni para sufi. Buku “Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi” didesain untuk memperkenalkan beberapa karya besar para Sufi itu. Seperti ditulis oleh Kautsar Azhari Noer dalam pengantarnya untuk buku ini, “Sebuah karya disebut ‘karya besar’ bukan karena tebal atau banyak jumlah halamannya, tetapi karena orisinalitasnya, pengaruhnya yang besar, dan posisinya yang signifikan dalam sejarah perkembangan tasawuf. Karya seperti ini, biasanya, dibaca dan dijadikan rujukan oleh banyak peminat, pengkaji dan pengamal tasawuf.”

Beberapa karya para Sufi yang dibahas dalam buku ini meliputi: al-Ri‘āyah li Huqūq Allāh karya al-Muhasibi, Kitāb Khatm al-Awliyā’ karya al-Hakim al-Tirmidzi, al-Mawāqif wa al-Mukhātabāt karya al-Niffari, al-Luma‘ fī al-Tashawwuf karya al-Sarraj, al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf karya al-Kalabadzi, Qūt al-Qulūb fī Mu‘āmalat al-Mahbūb karya Abu Thalib al-Makki, al-Risālah fī ‘Ilm al-Tashawwuf karya al-Qusyayri, Kasyf al-Mahjūb karya al-Hujwiri, Manāzil al-Sā’irīn karya al-Anshari, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali, dan Fushūsh al-Hikam karya Ibn ‘Arabi. Dan kontributor penulisan karya ini adalah para peneliti dan cendekiawan Islam Indonesia, di antaranya: Abdul Muhaya, Abdul Moqsith Ghazali, Asep Usman Ismail, Ikhlas Budiman, Kautsar Azhari Noer, Muhammad Aunul Abied Shah, Sri Mulyati, Suryana, dan Yunasril Ali.

Lantaran luasnya kajian dalam buku ini, tak salah jika Mukti Ali, Penulis buku Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia menyatakan: “Buku ini telah merekam resume dan kajian kritis dan mendalam terhadap kitab-kitab magnum opus ilmu tasawuf. Kitab-kitab yang dipilih oleh para pengkajinya merupakan kitab-kitab yang dalam sejarah pemikiran Islam telah dinobatkan sebagai cetak biru tasawuf dari dulu sampai hari ini dan bahkan mungkin sampai hari nanti. Sebab, kitab-kitab tersebut selaksa kompas yang menunjukkan arah yang tepat untuk melabuhkan hati, pikiran, dan amaliyah kita ke satu arah samudera kearifan. Sekaligus sebagai Globe (Bola dunia) yang membentangkan peta mistisisme Islam yang signifikan bagi para praktisi, pejalan spiritual (salik), petualang, penjelajah, dan pengamat.”

Menjawab Polemik Tasybih dan Tanzih Ibn Arabi

Di tengah perdebatan seputar hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, gagasan tasybih (penyerupaan al-Haqq dengan ciri-ciri yang dimiliki alam) dan tanzih(penafian keserupaan al-Haqq dari alam) telah menjadi dua istilah kunci sejak awal perkembangan ilmu kalam. Dalam merespon beberapa ayat al-Quran yang melekatkan Tuhan dengan gambaran semisal “tangan” Tuhan, “wajah” Tuhan, “kursi” Tuhan, dan lain-lain yang juga dimiliki ciptaan, di satu sisi, di samping ayat yang menegaskan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya, muncul kontroversi, haruskah makna di balik ungkapan-ungkapan Ilahi tersebut diimani apa adanya (literal), atau digantikan (takwil) dengan makna lain yang lebih layak secara rasional disandang Tuhan yang absolut. Posisi pertama adalah sikap teolog pendukung tasybih, sedang yang kedua adalah  kebalikannya, sikap teolog pendukung tanzih.

Uniknya, di tengah pertentangan teologis tersebut, Ibn Arabi tidak menerima satu gagasan dan menolak yang lainnya. Ia menerima keduanya secara bersamaan. Hal ini menjadikan pendiriannya tampak paradoksikal dan membingungkan. Namun, lewat buku “Mazhab Ibn Arabi: Mengurai Paradoksalitas Tasybih dan Tanzih”, penulis, Seyyed Ahmad Fazeli, sanggup menunjukkan penyelesaian dari paradoks tersebut. Dan inilah kelebihan dari buku ini.

Penulis menunjukkan penyelesaian dari paradoks tersebut tidak hanya secara rasional-logis dan doktrinal-mistis yang mendominasi ulasannya, namun juga tekstual-hermeneutis dengan menyuguhkan bukti dari ayat-ayat al-Qur’an tanpa harus mendistorsi literalitas makna dari ungkapannya. Semua perspektif ini terjalin secara koheren. Buku ini juga menggunakan pendekatan istilah peneliti kontemporer, semisal ithlaq maqsami, dalam analisis filosofis-mistisnya terhadap masalah tersebut, yang belum banyak ditemukan dalam karya serupa yang terbit di Indonesia.

Penulis buku ini sendiri merupakan peneliti, pengkaji, serta profesor di Universitas Internasi­onal al-Musthafa Qom, Iran. Dia pernah mengampu beberapa mata kuliah, semisal: hukum Islam, mistisisme komparatif, hermeneuti­ka, filsafat, dan tasawuf. Dia juga masih sering memberikan kajian seputar karya-karya filsuf dan sufi semisal Fushūsh al-Hikam karya Ibn Arabi, Mishbāh al-Uns karya Shadruddin Qunawi, Bidāyah al-Hikmah dan Nihāyah al-Hikmah karya Allamah Thabathaba’i. Pada periode 2009-2012, dia pernah menjabat sebagai Direktur Is­lamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta.

Teologi Baru atau Masalah-masalah Baru Teologi?

Setiap dispilin ilmu yang dimiliki dan dipelajari oleh umat manusia hari ini pada awalnya merupakan sebuah proposisi-proposisi terbatas dan secara gradual, pelbagai persoalan telah diimbuhkan padanya dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri. Boleh jadi pada awalnya, subyek ilmu tidak menjadi jelas bagi mereka dan seiring dengan perjalanan waktu subyek dan predikat khusus serta tujuan disiplin ilmu itu menjadi jelas dan terang.

Mengutip Aristoteles, “Kami mewarisi proposisi-proposisi yang berserakan dari para pendahulu kemudian kami sempurnakan dan menjadikannya sebagai sebuah disiplin ilmu Logika.” (Syarh Manzhumah, Sabzewari, pembahasan Logika)

Pakem ini berlaku pada setiap jenis ilmu pengetahuan dan boleh jadi disebabkan oleh kesempurnaan gradual, satu disiplin ilmu kemudian terpecah menjadi beberapa disiplin ilmu lainnya, padahal sebelumnya tidak lebih dari satu. Sebagai contoh kedokteran pada masa lalu dimana kita jumpai seorang tabib yang menjadi dokter bagi seluruh jenis penyakit namun dewasa ini setiap dokter memiliki spesialisasi tersendiri. Disiplin ilmu lainnya juga demikian adanya.

Teologi atau Kalam tidak terkecualikan dari pakem ini, entah pada masa Yunani kuno atau pada masa peradaban Islam. Ilmu ini pada mulanya terbentuk dari sebuah kajian sederhana dan terbatas kemudian seiring dengan perjalanan waktu mengalami kemajuan dan kesempurnaan.

Terkait dengan filsafat, Allamah Thabathabai dalam sebuah artikel pada seminar tentang Mulla Sadra menyebutkan bahwa Filsafat tatkala ditransfer dan diimpor dari Yunani ke dunia Islam, tidak lebih dari 200 persoalan yang menjadi obyek kajian. Namun berkat usaha filsuf Islam, telah mencapai 700 persoalan.

Pada masa-masa belakangan di Barat, sebuah disiplin ilmu Teologi, entah disebabkan oleh karena persoalan keilmuan atau politik, lahir dan pada umumnya teolog Kristen yang menjadi desainer atau peletak batu pertama atas munculnya disiplin ilmu ini yang disebut sebagai Teologi Baru atau New Theologi atau Modern Theology.

 Kelahiran Modern Theology

Kecendrungan pada manusia (baca: humanism) pada masa Renaissance pada kurun kelima belas dan pada abad ketujuhbelas telah mencapai titik kulminasi. Pada masa ini, orang-orang di Barat meyakini bahwa manusia dapat dan segala sesuatu harus dikaji dengan akal kritis dan metode ilmu empirik.

Mereka yang mengikuti pemikiran ini berkata Kitab Suci juga tidak ada bedanya dengan hal lainnya. Karena itu, ia harus ditelisik, dikaji dan dikuliti di laboratorium ilmiah. Menyikapi fenomena ini, para teolog Kristen, untuk melakukan pembelaan (defence) atas iman Kristiani dan penyelarasannya dengan kondisi baru, berusaha bertungkus lumus melahirkan sebuah dispilin ilmu baru yang disebut sebagai The Modern Theology atau New Theology (Kalām Jadid).

Peletak dasar terma Modern Theology ini adalah Scheleirmacher (w 1834) yang lebih menekankan pada persoalan seperti Pengalaman Religius, Kristilogi, Tafsir-tafsir Baru atas Doktrin-doktrin Kristen  semisal Wahyu, Keselamatan dan Trinitas. (Lihat, David F Ford, The Modern Theologians, hlm. 4, sebagaimana dikutip dalam Kalam Jadid, hlm. 16)

Terma Kalam Jadid pertama kali diperkenalkan dalam khazanah pemikiran Islam (Sunni) oleh Syibli Nu’mani (w 1914) dan dalam kosmos pemikiran Syiah, Murtadha Muthahhari yang mengajak pemikir Muslim untuk mengkonstruksi Kalam Jadid dengan memperhatikan masalah-masalah baru dalam Teologi, seperti sebab-sebab kemunculan Agama, wahyu dan ilham, dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, imamah dan kepemimpinan. (Kalām Jadid, hlm. 14)

Apa Itu Kalam Jadid?

Terkait dengan apa itu atau māhiyyah Kalam Jadid terdapat beberapa definisi yang dilontarkan oleh teologi sebagaimana berikut:

Pertama: Kata kalām di sini adalah ekuivokal dan bermakna Kalam Jadid dan Kalam Qadim. Para pendukung definisi ini meyakini bahwa terdapat perbedaan substansial di antara keduanya. Mengingat bahwa atmosfer pemikiran di abad ini secara keseluruhan mengalami perubahan dan yang mendominasi adalah segala yang bercorak saintis dan filosofis, karena itu untuk menetapkan secara rasional dan yakin keyakinan-keyakinan yang merupakan tugas Kalam Qadim menjadi mustahil. Karena itu, mau-tak-mau berbicara tentang nabi dan Tuhan, eskatologi dan wahyu harus menggunakan metode yang lain.

Kedua: Pengimbuhan kata “baru” adalah ajektif bagi syubhat dan media yang digunakan. Sejatinya tidak terdapat perbedaan substansial antara Kalam Qadim dan Kalam Jadid.

Ketiga: Definisi ketiga ini adalah definisi yang digandrungi terkait dengan penafsiran Kalam Jadid. Mereka memandang bahwa “baru” (jadid) itu merupakan sifat bagi masalah-masalah teologis. Artinya pada masa lalu, Kalam lebih banyak berkonfrontasi dengan masalah-masalah dalam domain ketuhanan dan eksatologi namun dewasa ini lebih banyak pada ranah humanisme dan agamalogi. (Khusrupanah, Kalam Jadid, hlm. 25)

Teologi Baru atau Masalah-masalah Baru Teologi?

Sebagian pemikir memandang bahwa terma Modern Theology yang diintrodusir Barat sebagai penyikapan atas lahirnya keraguan-keraguan baru dalam masalah Teologi kemudian dialihbahasakan menjadi Kalam Jadid adalah sebuah bentuk underestimate dan pelecehan atas Teologi Islam. Mereka menilai bahwa masalah-masalah yang mengemuka dalam Kalām Jadid itu merupakan bagian dari Kalam Klasik hanya saja masalah-masalah yang mengemuka pada Kalam Jadid itu adalah masalah-masalah baru. (Masāil Jadid Kalāmi, Ayatullah Ja’far Subhani, hlm. 8)

Perbedaan Kalam Klasik dan Modern

Berangkat dari persoalan di atas, perlu kiranya diurai lebih jauh terkait dengan pembagian ilmu Kalam menjadi Qadim dan Jadid di sini. Karena itu, berikut ini kita akan membahas beberapa pandangan terkait dengan pembagian Kalam Qadim dan Kalam Jadid dengan mencukupkan hanya menyinggung empat pandangan untuk menghemat ruang dan waktu.

 Pandangan Pertama

Sebagian berpandangan bahwa alih-alih kita membagi ilmu Kalam itu menjadi klasik dan modern, baiknya menjadi teolog klasik dan teolog modern, sebagaimana dalam kosmos Fikih menjadi fakih klasik dan fakih modern. Fikih adalah sebuah disiplin ilmu mengalami perkembangan dan perubahan dari sisi paradigma dan metode pembahasan, baik pada sisi cabang-cabang dan persoalan-persoalannya. Toh dengan begitu, Fikih tidak terbagai menjadi Fikih Klasik dan Fikih Modern melainkan menjadi fakih klasik dan fakih kontemporer (modern).  Karena itu, kriteria “baru” sebagai antonym dari “kuno” atau modern sebagai bandingan dari “tradisional” dan semisalnya menggunakan kriteria waktu (zaman) sehingga boleh jadi di masa mendatang akan muncul Teologi “Lebih” Modern (Kalam Ajad). Apabila kriteria yang digunakan adalah: kandungan baru, paradigm baru dan metode baru, dalam hal ini siapa yang akan menjamin di masa akan datang tidak akan muncul masalah lebih modern, paradigma lebih modern dan metode lebih modern? (Ayatullah Jawadi Amuli, JurnalQabasāth, No 2, hlm. 63)

Dalam pandangan ini, perubahan dan pembaruan (tajaddud) dalam ilmu Kalam diiakui pada tiga fokus pembahasan: Kandungan, paradigma dan metode. Namun problem utamanya adalah lantaran perubahan itu bersifat in flux (sayyāl) dan senantiasa berlaku sehingga ilmu Kalam tidak dapat dibagi menjadi klasik dan modern mengingat pada masa-masa mendatang, apa yang sekarang modern (jadid) segera akan menjadi klasik dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, kata klasik dan modern berdasarkan kriteria ini adalah kalimat ajektif dan bersifat relatif.

Pandangan Kedua:

Perbedaan Kalam Qadim dan Kalam Jadid, Teologi Klasik dan Teologi Modern pada dua hal. Pertama, pada syubhat-syubhat yang dulu mengemuka dan keraguan-keraguan itu kini telah mengalami antikuasi dan tidak lagi aktual atau up to date. Kedua, pada afirmasi-afirmasi teologis yang dulu berpengaruh dan diterima kini tidak lagi memiliki daya magnet yang cukup untuk menarik orang membicarakannya.

Allamah Muthahhari sekaitan dengan hal ini berkata, “Mengingat bahwa Teologi sebuah disiplin ilmu yang memiliki dua tugas: Pertama membela dan membantah pelbagai syubhat, kritikan dan objeksi atas ushul dan furu’ Islam. Kedua, menjelaskan serangkaian persoalan yang terkait dengan ushul dan furu’ Islam. Nah, mengingat bahwa pada masa kita banyak syubhat yang bersileweran yang dulunya tidak ada karena itu perlu kiranya kita membangun dan mengkonstruksi Kalam Jadid. (Ali Rabbani Gulpaigani, Aqāid Istidllāli)

Sisi common Kalam Qadim dan Kalam Jadid, sesuai dengan pandangan ini, tujuan dan goal yang diingin disasar oleh ilmu Kalam. Sisi perbedaannya berkaitan dengan dalil-dalil dan syubhat-syubhat teologis yang mengemuka pada masa klasik dan masa kiwari. Akan tetapi perbedaan ini bersifat sebagian (fil jumlah) bukan keseluruhan (bil jumlah) dan tidak menyentuh masalah stabilitas atau kemajuan metode pembahasan-pembahasan teologis.

Pandangan Ketiga:

Penggunaan kata modern (jadid) pada ilmu Kalam sejatinya pada tiga persoalan berikut ini:

  1. Keraguan-keraguan baru dalam ranah Teologi
  2. Amunis-amunisi baru teologis
  3. Tugas-tugas baru teologis

Kalam Jadid adalah konsekuensi Kalam Qadim dan tidak terdapat perbedaan substansial di antara keduanya. Kita dapat mengakui Kalam Jadid pada tiga sisi: Pertama, tugas pertama dan utama ilmu ini adalah menjawab pelbagai syubhat dan karena syubhat-syubhat yang terlontar itu baru maka kalam juga ikut baru. Kedua, hal yang perlu diperhatikan bahwa dengan amunisi lama tidak selamanya dapat menjawab pelbagai syubhat baru. Terkadang untuk menjawab syubhat baru perlu digunakan amunisi baru. Karena itu, seorang teolog memerlukan beberapa hal yang baru. Ketiga, ilmu Kalam menemukan satu tugas baru yaitu menjadi agamalogi (mengenal agama-agama). Agamalogi menyoroti masalah agama dari sudut pandang eksternal agama. Karena itu, Kalam Jadid acap kali juga disebut sebagai Filsafat Agama. Agamalogi adalah pandangan yang menyoroti agama sebagai sebuah makrifat dari makrifat-makrifat dan menemukan hokum-hukumnya, atau menyoroti tentang salah satu kondisi spiritual dan psikologikal. Singkatnya menyoroti secara psikoanalisis terhadap agama. Agamalogi dengan makna ini telah diimbuhkan pada pembahasan-pembahasan ilmu Kalam. (Soroush, Qabdh wa Basth Syariat, hlm. 12 dan 13).

Pandangan Keempat:

Dimensi-dimensi baru dan modern pada ilmu Kalam adalah sebagai berikut:

  1. Baru dalam persoalan-persoalan:

Baru dalam persoalan-persoalan ini memililki dua factor, pertama baru dalam syubhat-syubhat dan lainnya kesempurnaan makrifat seorang teolog. Misalnya persoalan khatamiyat yang pada literatur-literatur teologis abad 19 tidak mengemuka sebagai persoalan teologis, sementara teolog kiwari menilainya sebagai bagian dari persoalan teologis.

    2. Baru dalam Metodologi:

Mengingat tugas ilmu Kalam menjelaskan ajaran-ajaran agama, menetapkan ajaran-ajaran tersebut serta menjawab pelbagai syubhat sedemikian sehingga para penentang dapat menerima ajaran-ajaran agama buah implementasi tugas ini. Hal ini meniscayakan pertama, sesuai dengan barunya pemahaman dalam benak pendengar, kedua, barunya syubhat maka metode yang harus digunakan oleh seorang teolog juga harus baru. Pada satu masa, metode analogis (qiyās) yang digandrungi teologi, dan pada satu masa lainnya, metode dialektik (jadāl) dan masa berikutnya memfavoritkan dalil-dalil empiric, bukti-bukti induktif (istiqrā’i) dan metode statistic. Secara umum jawaban atas setiap syubhat memerlukan media tertentu. Persoalan sosiologis harus dipecahkan dengan menggunakan metode ilmu-ilmu Sosial. Keraguan filsuf Positivisme harus memakai media-media tertentu yang diterima oleh kalangan positivis. Karena itu, konsekuensi mengemukanya pelbagai syubhat dan keraguan baru maka masalah-masalah ilmu Kalam juga menjadi baru demikian juga metodologinya.

3. Baru dalam bahasa:

Ilmu Kalam berbeda dengan ilmu Demonstratif (baca Filsafat) dan Empirik tidak menggunakan bahasa akurat ilmiah, melainnkan teolog berdasarkan pada obyek wicaranya akan menggunakan bahasa dan lisan tertentu.

     4. Baru dalam Paradigma:

Baru dalam paradigma dan asas ini merupakan bahasan terpenting dalam pembaruan Kalam. Sebagian paradigm ilmu Kalam mendapat perhatian khusus para teolog, seperti paradigma dan pijakan epistemologis dan ontologis dimana galibya para teolog menilainya sebagai persoalan umum ilmu Kalam dalam permulaan buku-buku mereka. Namun persoalan penting dari paradigma dan asas ilmu Kalam seperti paradigma humanis dan naturalis tidak begit mendapat perhatian teolog. Karena itu, dalam buku-buku teologi tidak begitu dibahas.

    5. Baru dalam identitas:

Kalam apabila kita tinjau dari sudut pandang waktu dibandingkan dengan masa lalu maka ia bersifat baru dan terkait dengan masa akan datang akan menjadi baru. Baru di sini tidak terkhusus pada ilmu Kalam, melainkan setiap pengetahuan manusia bersifat tadriji al-hushul. Artinya manusia memperoleh ilmunya secara gradual, ada yang baru dan yang lama. Yang baru segera menjadi lama dan seterusnya. (Faramerz Qaramaliki, Maudhe’ Ilm wa Din dar Khelqat, hlm. 23 & 27)

Kesimpulan

Hemat penuis, dari apa yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa apabila perubahan dan pembaruan (tajaddud) dalam ilmu Kalam diiakui pada tiga fokus pembahasan: Kandungan, paradigma dan metode maka ketiganya bersifat in flux (sayyāl) dan senantiasa berlaku sehingga ilmu Kalam tidak dapat dibagi menjadi klasik dan modern mengingat pada masa-masa mendatang, apa yang sekarang modern (jadid) segera akan menjadi klasik dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, kata klasik dan modern berdasarkan kriteria ini adalah kalimat ajektif dan bersifat relatif. Karena itu apa yang disebut sebagai Kalām Jadid itu adalah Pendekatan Baru dalam Isu-isu Agama (meminjam judul buku karya Dr Hasan Yusufian edisi terjemahan Indonesia) atau sesuai dengan judul tulisan ini, Masalah-masalah Baru Teologi. Wallāhu ‘Ālim.

Oleh: Akmal Kamil[*]

Problematika Ta’wil Sebagai Hermeneutika Timur dalam Pendekatan Karya Sastra

Dalam perkembangan ilmu-ilmu humaniora di Indonesia, khususnya ilmu sastra, hermeneutika dapat dikatakan sebagai pendekatan yang relatif baru. Kajian kesusastraan yang menerapkan pendekatan ini secara utuh pun masih belum banyak. Demikian pula dengan karya tulis (terutama buku) berbahasa Indonesia yang secara khusus mendiskusikan hermeneutika pun cukup sulit ditemui, kecuali terjemahan dari bahasa asing. Buku Hermeneutika Sastra Barat dan Timur karya Abdul Hadi W.M. ini menjadi salah satu usaha mengisi kekosongan diskursus hermeneutika dalam pendekatan studi sastra di Indonesia.

Buku ini menyuguhkan enam bagian pembahasan yang diawali dengan penjelasan tentang hubungan antara hermenutika dan studi sastra. Pada bagian pertama, penulis buku ini meyakini bahwa kebangkitan kembali hermeneutika dalam perdebatan ilmu sosial dan humaniora tidak terlepas dari kecenderungan untuk mempelajari teks-teks klasik dan kesejarahan yang sebelumnya sempat mati suri karena dianggap tidak sesuai dengan semangat zaman baru, bersamaan dengan kuatnya arus neopositivisme masa pencerahan (Aufklaerung) yang menjujung tinggi rasionalitas.

Dalam konteks tersebut, buku ini menempatkan hermeneutika sebagai kritik atas dominasi dua kecenderungan pemikiran neopositivisme dan posmodernisme yang dicirikan sebagai ahistoris, adialektis, dan alinguistik (hal. 11-19). Alasannya, dua pemikiran tersebut telah menafikan makna dari simbol tertentu (melalui bahasa) yang sejatinya terkait erat dengan sejarah, pandangan hidup, dansemangat zaman di mana sebuah teks diproduksi. Sebagai contoh, de Saussure dianggap keliru dalam memahami bahwa bahasa benar-benar terpisah dari realitas dunia. Para hermeneun (tokoh hermeneutika) seperti Heidegger, Gadamer, dan Ricouer justru memandang “bahasa sebagai artikulasi das sein (wujud) tidak terpisahkan dari realitas” (hal. 21).Pencapaian makna secara utuh dan hakiki atas teks tertentu harus melibatkan pertimbangan realitas termasuk di dalamnya adalah sejarah, pandangan hidup dan tradisi manusianya.

Di bagian kedua, buku ini berusaha mengulik sejarah hermenutika yang mengukuhkan Plato sebagai penggagas awal terma ini. Di tangan Plato, hermeneutikadiartikan sebagai teknik dan cara menafsir sesuatu melalui proses pengilhaman setelah seseorang melakukan meditasi dan kontemplasi (hal. 33). Hal ini kemudian dipahami oleh Abdul Hadi bahwa Plato menghubungkan hermeneutika dengan spiritualitas dan dalam perkembangannya menekankan asas metafisika atau asas batin sebuah teks.Dengan mengurai kesejarahan tokoh hermeneutika dari zaman Yunani kuno seperti Plato hingga Agustinus, Aquinas sampai Chladenius, Vico, Ast, Wolf, Schleiermacher, dan Ricouer, penulis buku ini sampai pada sebuah perbandingan antara hermeneutik dengan mimamsa dan ta’wilyang mana dua terma terakhir berakar dari tradisi intelektual Timur. Sayangnya, perbandigan di bab ini terbatas pada penyejajaran antara cara pemerolehan makna (tafsir) di Barat yang diwakili hermeneutika dan di Timur yang diwakili mimamsa dan ta’wilyang mana masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Penulis buku pada gilirannya menggiring pembaca untuk memahami kedua terma Timur tersebut sebagai bagian dari hermeneutika.

Pada bagian ketiga dan keempat, secara khusus pembahasan buku ini terpusat pada pemikiran dua tokoh kunci hermeneutika modern yaitu Dilthey dan Hans-Georg Gadamer. Tokoh pertama yang populer dengan usulan metode heuristik dalam ilmu sosial-humanioraitu dianggap berhasil memadukan kembali psikologi, estetika, dan sejarah sebagai asas dalam studi sastra. Kecenderungan dari pemikiran tokoh ini adalah hermeneutika sejarah. Adapun tokoh kedua, Gadamer, justru mengkritik hermeneutika sejarah dan mengedepankan peran subjek dalam keberadaan setiap teks.Lagipula, bagi Gadamer, hermeneutika bukanlah metode karena kebenaran (pemahaman teks) tidak bisa dicapai dengan metode. Hermeneutika adalah pemahaman itu sendiri, dan untuk mencapainya, ada empat konsep yang dapat mengantar seseorang memperkaya pemahaman yaitu, bildung (gambar), sensus communis, practical judgement, dan taste atau selera (hal. 125-142).

Ketika pembahasan tentang pemikiran Gadamer belum sepenuhnya terinci, penulis buku seakan meloncat ke penjelasan bagian kelima yang bahkanmengajak pembaca merujuk pandangan Gadamer kepada gagasan Ibn ‘Arabi tentang ta’wil.Judul bagian kelima buku inipun menyisakan masalah epistemik karena membingkai ta’wil sebagai hermeneutika Islam. Masalah tersebut adalah tentangbagaimana ta’wil benar-benar bisa disejajarkan dengan hermeneutika, terlebih hermeneutika Islam?Lantas bagaimana konsep hermeneutika Islam itu sendiri? Secara terang-terangan penulis buku meyakini bahwa dua terma itu memiliki esensi yang sama sehingga hampir disetiap bagian pembahasan, terma ta’wil selalu disandingkan dengan hermeneutika. Berbeda halnya dengan pembahasan rasa dhvanipada bagian keenam (terakhir) yang tidak secara ketat disandingkan dengan hermeneutika.

Argumentasi atas ta’wil sebagai hermeneutika Islam sejatinya tidak begitu tampak jelas. Abdul Hadi hanya sebatas menarik kesimpulan problematis bahwa “ta’wil merupakan bentuk hermeneutika yang berkembang dalam tradisi Islam dan mulai diperkenalkan pada abad ke-10 dan 11…” (hal. 151). Sebelumnya, dia menguatkan bahwa kedua terma itu sama-sama berupaya memahami teks melalui dialog dan dialektika yang dilanjutkan dengan penyingkapan makna terdalam teks atau pesan moralnya. Melalui alasan ini kemudian ta’wil dikategorikan sebagai hermeneutika Islam.

Membuat simplifikasi bahwa ta’wil merupakan hermeneutika Islam tentu saja menyisakan pertanyaan besar. Terdapat dua alasan mendasar tentang kelemahan dari simplifikasi tersebut. Pertama, konsep ta’wil dalam Islam pada umumnya tersanding dengan konsep tafsir di mana keduanya merupakan metode untuk menggapai sebuah pemahaman atas teks tertentu, terutama teks yang berhubungan dengan teks suci Islam seperti al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam tradisi keilmuan Islam, sejumlah aturan ketat sangat ditekankan di sini sebab menyangkut pemahaman atas ayat suci. Namun demikian, untuk menggapai sebuah makna dan pemahaman atas teks-teks Islam yang bukan termasuk teks suci, khususnya kesusastraan, tradisi Islam memiliki metode sendiri yang terkonsep lewat balaghah. Konsep ini menuntun kepada pemahaman sebuah teks, khususnya teks sastra, yang menggunakan bahasa metaforis dan simbolik.Satu paket dengan ilmu balaghah yang bertujuang menyingkap makna teks sastra adalah ilmu bayan, ma’ani, dan badi’.

Meskipun ta’wil dan tafsir tidak selalu harus digunakan untuk teks-teks suci, namun ketika berbicara tentang tradisi metode penggalian makna sebuah teks, konsep lain seperti balaghahperlu didiskusikan. Hal ini sebagai upaya menghindari kerancuan dalam memahami tradisi Islam secara utuh. Apalagi nantinya metode tersebut disandingkan, bahkan diklaim sebagai bagian dari metode lain di luar tradisinya seperti hermeneutika. Dalam keilmuan, sangat memungkinkan keduanya memiliki tipologi yang sama namun untuk menyejajarkannya harus ditopang dengan pengetahuan tradisi secara utuh. Buku karya Abdul Hadi ini nampaknya melalaikan hal tersebut.

Kedua, simplifikasi juga tampak dalam penciptaan terma baru yaitu ‘hermeneutika Islam’. Penyebutan terma ini terasa cukup gegabah dan mungkin terkesan emosional; membawa istilah baru ke dalam dunia penulisnya yaitu Islam.Terma ini justru membuat sebuah dikotomi baru bahwa ada hermeneutika Islam dan ada pula hermeneutika non-Islam. Meskipun pada dasarnya penulis buku mengklasifikasikan bahwa ta’wil adalah bentuk hermeneutika (dalam) Islam yang didasarkan pada esensi cara kerja dari masing-masing terma, namunterbentuknya terma baru ini justru akan menciptakan jarak antara hermeneutika dengan hermeneutika Islam yang sangat mungkin malah justru berbeda secara esensial. Jarak ini juga bisa jadi semakin memisahkan keilmuan dalam tradisi Islam dengan keilmuan dalam tradisi Barat. Padahal, dalam kenyataanya keduanya memiliki tradisi keilmuan dengan istilah masing-masing yang esensinya tidak jauh berbeda. Tampaknya Abdul Hadi terjebak dalam pesona terma sehingga memaksa hermeneutika dan ta’wil menjadi hermeneutika Islam.

Terlepas dari segala kekurangan yang dimilikinya, buku ini secara  umum memang sangat berarti dan berkontribusi dalampengembangan pendekatan dan mengulik teks-teks kesusastraan khususnya di Indonesia. Kecenderungan pendekatan struktural,dan baru-baru ini terasa ramai pendekatan paskastruktural seperti paskakolonial, yang mendominasi pendekatan studi sastra di Indonesia memosisikan buku ini sebagai bacaan alternatif untuk memperkaya metode pemaknaan teks baik itu sastra atau bahkan teks non-sastra.

Judul                 : Hermeneutika Sastra Barat dan Timur
Penulis             : Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.
Penerbit           : Sadra Press
Cetakan           : Pertama, Maret 2014
Tebal                : xvi+236 halaman
Reviewer         : Mohammad Rokib

*pernah dimuat di jurnal al-adab

(Sumber: http://surabayabooks.blogspot.co.id/)

Spirit Cinta Penghulu Para Syuhada

Perjuangan Sayyidina Husain atau yang biasa juga dikenal dengan Imam Husain, cucu Nabi, di Karbala bukanlah romantika sejarah, tapi spirit yang mengandung pesan universal dalam kebaikan, kebenaran, kasih-sayang, dan cinta. Kurang lebih itulah gagasan yang ingin disampaikan dalam buku Hikmah Abadi Revolusi Imam Husain yang dieditori oleh Dr. Husain  Heriyanto.

Gagasan ini nyaris dapat ditemukan dalam keseluruhan kandungan buku, sejak dari prolog, isi, dan epilog buku ini. Tujuhbelas artikel di dalamnya yang ditulis dengan beragam perspektif, mulai dari historis, sosio-kultural, politik, religio-teologis, dan filosofis-sufistik, nyaris tidak pernah alpa dari nilai-nilai kebaikan, kebenaran, kasih-sayang, dan cinta yang diabstraksi dari sejarah perjuangan Imam Husain.

Mayoritas penulis yang terlibat penulisan buku ini adalah tokoh, peneliti, dan cendekiawan Islam dari dalam negeri dan tiga penulis lainnya dari luar negeri. Sehingga menjadikan buku ini merupakan buku pertama sekaligus, boleh jadi, satu-satunya buku yang mengulas tentang Imam Husain dari beragam penulis dan beragam perspektif.

Buku yang terbit tepat di bulan Muharam ini—bulan saat cucu Nabi Muhammad Saw ini dibantai oleh segerombolan orang yang mengaku Islam, tapi sejatinya mempermainkan dan merendahkan nilai-nilai universal dari ajaran agama ini—setidaknya memiliki tiga penjelasan penting yang patut dicatat.

Pertama, kisah perjuangan Sayyidina Husain dalam hikayat Melayu. Kisah seputar kesyahidan dan perjuangan Sayyidina Husain—sosok yang dihormati, diagungkan, dan dicintai Nabi dan beliau meminta umatnya berlaku sama pada cucunya ini—melawan tirani di zamannya sudah berabad-abad lamanya dikenal di Indonesia. Dalam penelitian Prof. Dr. Abdul Hadi WM misalnya, kisah ini telah dikenal sejak awal pesatnya perkembangan Islam pada abad ke-13-15 M. (Hlm. 2) Kisah kesyahidan Amir Husain, demikian ia disebut dalam teks melayu, dapat ditemukan dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah dan Hikayat Sayidina Husain. Dalam penelusuranya, selain populer, kisah kesyahidan Husain memiliki makna tersendiri dalam hati penganut Islam di Indonesia. Keberanian, kekesatriaan, serta kebenaran yang diusung Husain telah menginspirasi banyak umat Islam di Indonesia, sejak dulu hingga sekarang.

Kedua, jika direnungkan, setiap detail pernyataan dan tindakan Imam Husain keseluruhannya logis-rasional. Artinya, keputusan dia dan keluarganya pergi ke Kufah, dan syahid di Karbala, murni berdasarkan pertimbangan yang matang. Bukan lantaran keputus-asaan apalagi kenekatan.

Ketiga, ditilik dari refleksi sufistik, kebangkitan al-Husain merupakan manifestasi cinta; cinta kepada Zat Allah beserta nama-nama-Nya, termasuk umat manusia. Seperti ayahnya, Ali bin Abi Thalib r.a., ibunya, Fathimah al-Zahra r.a., dan kakeknya pula, Sayidina Muhammad Saw., dia adalah teladan ”penyangkalan diri” sempurna, dan simbol puncak kecintaan kepada Tuhan. Tak salah jika dalam tradisi tasawuf, Husain dikenal tidak hanya mujahid dalam peperangan, melainkan mujahid al-nafs (kesatria perang melawan diri sendiri atau ego).

Karenanya, sangat pas sekali ungkapan Rumi, bahwa kita mestinya memusatkan perhatian pada Sayyidina Husain, teladan kecintaan sempurna, kepada Tuhan dan penyangkalan diri habis-habisan di hadapannya. Bukan kepada peperangan, pertumpahan darah, kejahatan, kekejaman, kehewanan, dan nafsu ingin balas dendam. Karenanya pula, tak salah bila Haidar Bagir, pakar tasawuf dan filsafat Islam yang juga berkontribusi dalam buku ini, menyatakan dalam epilognya bahwa buku ini adalah tentang kita belajar cinta kepada Tuhan, dari Tuan-Nya Para Penghulu Syuhada.

Oleh karena itu, buku ini penting untuk dibaca oleh siapa saja, terutama para sejarawan, peneliti, terlebih lagi para pendidik di sekolah Islam maupun umum, agar hikmah dan pesan universal perjuangan cucu Nabi ini bersemi dan menghadirkan Islam yang rasional, moderat, bijak, tegas, namun didasarkan atas kasih sayang.

Judul: Hikmah Abadi Revolusi Imam Husain,

Penulis: Husain Heriyanto, et.all

Penerbit: Sadra Press

Cetakan I, November, 2013, Tebal: (xxviii + 432) halaman

ISBN: 978-602-9261-45-5

Tawaran Muthahhari untuk Generasi Muda

Jika Anda memiliki anak dan kebingungan memahami keadaan sekeliling, gelisah karena anak perempuan Anda lebih suka nongkrong di mal daripada di pengajian atau anak laki Anda lebih suka bermain band dan berlama-lama di internet daripada ngobrol dengan orang tuanya, barangkali buku saku “Bimbingan Untuk Generasi Muda” karya Murtada Muthahhari dapat membantu Anda.

Tapi tentu saja bagi generasi muda buku inipun layak untuk bercermin, melihat orang tua mereka, kenapa orang tua mereka tidak menarik untuk dijadikan teman ngobrol. Kesalahan ini patut ditanyakan pada orang tua, kenapa orang tua tidak terlalu tertarik pada agama sehingga tidak ada sesuatupun yang penting dari agama untuk anak mereka.

Satu kutipan dari Rasulullah Saw yang cukup kuat dari buku kecil ini, “Kaum mudamu yang terbaik adalah orang yang menyerupai orang-orang tua kamu dan orang-orang tua kamu yang terburuk adalah orang-orang yang menyerupai orang-orang muda kamu.” Pesannya, jangan salahkan anak muda yang asing dengan agama jika orang tua mereka tak tertarik pada agama, jangan tuntut anak muda untuk hidup sesuai ajaran Islam jika orang tua mereka hidup dengan nilai di luar Islam.

Muthahhari jeli melihat kondisi generasi kedepan. Dia menawarkan bahwa tiap generasi umat Islam bertanggug jawab pada zamanya di mana dia hidup, dan generasi pengganti berikutnya. Muthahhari memberi contoh bahwa kita tidak akan bingung melihat keadaan di sekeliling kita jika kita mengenal zaman itu dengan baik. Generasi Muda di negaranya saat Muthahhari hidup begitu gandrung dengan pemikiran marxis. Beliau sadar bahwa generasi muda waktu itu memperoleh jawaban dari ajaran marxis, sehingga Muthahari berusaha menjawab pertanyaan anak-anak muda bersumber dari ajaran Islam.

Setelah mengidentifikasi masalah-maalah generasi muda dan  berusaha menjawab lewat karya dan ceramahnya, Muthahari memberi penekanan, bahwa kunci membimbing generasi muda adalah pengetahuan. Tanpa pengetahuan kita tidak akan mengenal zaman kita.

Kemudian apa relevansinya dengan zaman kita sekarang? Jika kita bandingkan generasi Muthahhari dengan generasi muda, terutama di Indonesia, sekarang, tentunya akan di temukan banyak persoalan, misalnya sekulerisme, agnotisme, dan hedonisme menjadi pertanyaan yang harus dijawab oleh generasi tua. Seberapa jauh orang tua mempunyai taji mampu bersaing dengan rayuan iklan di TV, google, akan menentukan nasib anak muda, belum lagi dengan rayuan-rayuan dari tokoh agama yang dangkal pengetahuan agamanya tapi diikuti sebagian generasi muda.

Muthahhari mengingatkan dalam buku kecil ini bahwa dalam menyampaikan kebenaran kita harus menggunakan akal dan al-Quran sebagai argumentasi, bersikap persuasif, dan santun. “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan berargumentasilah dengan mereka dalam cara yang terbaik. Tuhanmu lebih mengetahui siapa orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa orang-orang yangmendapat petunjuk jalan-Nya”.

Buku ini cukup ringkas, dan lebih terkesan menasehati dibanding mengajak berdebat, tetapi jika kita mencoba menemukan kesulitan-kesulitan zaman Muthahhari kemudian merefleksikannya pada keadaan sekarang, maka kita akan seperti mendengar ceramah Muthahari di masjid Istiqlal, yang sedang berbicara tentang isu-isu kontemporer.

Oleh: Muhammad Ma’ruf

(Sumber: IRIB Indonesia)