Bertempat di Auditorium al-Musthafa, kampus STIF Sadra, Jakarta, Sadra International Institute mengadakan diskusi sekaligus launching buku “Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam” karya Prof. Dr. Mohsen Gharawiyan. Acara yang dimulai tepat pukul 14.30 WIB di hari Jum’at ini menghadirkan dua pembicara, yakni penerjemah dan editor buku terkait. Penerjemah adalah Muhammad Nur, kandidat doctor di ICAS Jakarta dan termasuk penerjemah inti di Sadra International Institute. Adapun editor adalah Musa Kadzhim, editor handal beberapa penerbit bergengsi di Indonesia dan editor utama Sadra Press.

Acara yang dimoderatori oleh Andi Herawati─mahasiswa Magister ICAS─ini memberikan kesempatan pada editor untuk memulai diskusi. Dengan santai namun mengalir, editor kelahiran Jawa Timur ini menjelaskan siapa penulis buku dan keunggulan-kelemahan buku yang berjudul asli Dar Amadi Bar Amuzesye Falsafe ini. Musa mengawali dengan memperkenalkan siapa Mohsen Gharawiyan itu. Menurutnya, ia adalah murid Mishbah Yazdi. Ia juga seorang dosen dan pakar filsafat Islam.

Beranjak kemudian, setelah menjelaskan tentang siapa penulis, Musa melanjutkan dengan menjelaskan tentang keunggulan-keunggulan buku yang terbit bulan Maret lalu ini. Baginya, buku ini memiliki beberapa keunggulan, berikut di antaranya:

Pertama, buku ini –persis sebagaimana judulnya- mengantarkan pembaca pada diskursus filsafat Islam pada umumnya dan pada buku “Buku Daras Filsafat Islam” karya Mishbah Yazdi pada khususnya.

Kedua, buku ini memiliki keunggulan dalam sistematika dan metodologi sebagaimana halnya karya Taqi Mishabh Yazdi. Musa mengatakan, salah satu problem dalam  memahami teks-teks filsafat adalah problem metodologi yang cenderung rumit. Hal ini bisa kita lihat pada teks-teks filsafat semacam karya Mulla Shadra dan Sabzawari. Editor yang juga penulis ini mengilustrasikan karya-karya kedua filsuf Islam tersebut bila ditinjau dari segi metodologinya, seakan-akan melemparkan pembaca karyanya ke dalam hutan tanpa tahu harus kemana. Pasalnya, sistematika dan metodologi dari karya-karya mereka berdua yang cenderung rumit. Kontras dengan apa yang ditampilkan dalam buku Mohsen Gharawiyan ini.

Musa menambahkan, buku ini mengurai dan memberi peta fisafat Islam, sehingga apabila kita ingin mempelajari atau membaca filsafat Islam, dapat diketahui bahwa jalannya sudah benar dan ketahuan ujungnya akan kemana. Sudah banyak ditemukan teks filsafat Islam yang membutuhkan pendahuluan yang panjang, sehingga seseorang yang membaca teks filsafat tanpa pendahuluan ini, maka ia akan membaca filsafat dengan semangat memahami doktrin atau istilah-istilah, padahal rangkaian kata yang disusun atau istilah-istilah itu adalah argumen yang sudah dibuktikan sebelumnya. Contoh paling nyata dari tulisan semacam ini adalah Tajrid al-Iqtiqad karya Nashiruddin Thusi yang begitu rumit susunan kalimatnya. Bila ditelisik lebih jauh, susunan kalimat dalam karya ini, yakni perpindahan satu kalimat dari kalimat lain mungkin membutuhkan argumen tersendiri yang sudah dibahas di logika, pengantar logika, dan pengantar filsafat. Dampaknya, orang yang membacanya menjadi bingung tentang apa yang dimaksud oleh penulis. Oleh karena itu, tak heran bila buku ini memiliki banyak syarah.

Nah, ini yang berusaha dipecahkan oleh Yazdi dan muridnya, yakni dengan membangun sistematika pengajaran, di antaranya dengan memberitahukan manfaatnya. Yang diharapkan dengan mengetahui manfaat dari suatu pembahasan, kemudian akan berlanjut pada timbulnya motivasi untuk semakin mempelajari.

Ketiga, buku ini berhasil memberikan ilustrasi-ilustrasi, yang mampu mendekatkan konsep konsep yang disampaikan kepada benak pembaca. Ilustrasi semacam ini yang jarang ditemukan di Buku Daras Filsafat Islam-nya Mishbah Yazdi.

Keempat, berbeda dengan karya filsafat Islam lainnya yang biasanya menggunakan pendekatan ontologis, yaitu membahas langsung masalah wujud. Buku ini ─mungkin karena adanya interaksi yang cukup intens antara filsafat Barat dan Islam─ menggunakan pendekatan epistemologis.

Musa mengilustrasikan, seseorang yang langusng membahas wujud, bagaikan ditampar waktu tengah malam saat baru bangun tidur. Kaget tentunya. Nah, strategi untuk menghindari tamparan awal ini, yakni dengan menggunakan pendekatan epistemologis. Seperti, bahwa manusia itu bisa mengetahui dan pengetahuan itu dibagi ini dan ini; yang dipahami oleh akal itu adalah konsep, konsep tentang wujud itu jelas. Sehingga pelan-pelan pembaca di antarkan kepada pembahasan mengenai wujud. Tentu pendekatan semacam ini kontras dengan pendekatan ontologi yang digunakan dalam kitab Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah misalnya.

Kelima, ditulis dengan bahasa sederhana dan ringan.

Keenam, dari segi konten. Hal ini di antaranya bisa dilihat dari daftar isinya. Meski mungil dan kecil, tetapi buku ini merangkum survey yang lengkap, mulai dari membahas pembahasan inti filsafat hingga ‘aksesori’ filsafat.

Kendati demikian, Musa tak menampik bahwa buku terbitan Sadra Press ini juga memiliki kekurangan. “Tentu saja setiap keunggulan ada kekurangan”, begitu pria muda ini mengawali komentarnya tentang kekurangan dalam buku ini. Dari penjelasannya, diketahui bahwa setidaknya ada dua kekurangan dalam buku ini. Pertama, buku ini seolah dibuat tidak sesuai dengan standar ilmiah penulisan buku. Boleh jadi, hal ini adalah imbas dari pola penulisan Yazdi sendiri, yang dalam beberapa karyanya tidak memberikan referensi. Namun, Musa melanjutkan, kekurangan ini bisa dijawab [dan mungkin dimaklumi], mengingat bila harus menyebutkan banyak komentar-komentar tokoh dan referensi-referensi lainnya, tentu akan berdampak pada tebalnya buku ini dan nantinya juga berdampak pada kurangnya kegunaan buku [yakni sebagai buku pengantar]. Kedua, penulis buku ini juga kurang rajin dalam memberi footnote, sehingga tak heran jika buku ini minim footnote.

Muhammad Nur yang menjadi pembicara kedua juga memberikan beberapa komentar terkait buku ini, yang diantaranya senada dengan apa yang dijelaskan Musa. Namun, pria yang kala itu berkemeja batik ini juga memberikan sisi lain terkait buku ini dan penulisnya.

Menurutnya, ada dua model buku, yakni; teks book (buku daras) dan buku bacaan. Nur menambahkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis buku ini sendiri, buku ini adalah pengalaman penulis semasa mengajar buku daras filsagat Islam, di mana dari pengalamannya tersebut, buku ini tergolong masih terlalu berat bagi pemula. Karena itu, dibutuhkan buku lain yang dapat menjadi pengantar bagi buku tersebut. Dalam klasifikasi dua model di atas, buku ini cenderung sebagai buku bacaan, karena memang didesign lebih sederhana dan lebih mudah ketimbang buku Daras Filsafat Islam.

Masih menurut Nur, di Iran buku ini menempati posisi yang penting. Dalam pengajaran filsafat, ia menjadi buku teks baik di tingkat hauzah maupun di universitas. Hal ini terbilang lumrah, mengingat dinamikan pemikiran filsafat di Iran cenderung berkembang. Filsafat Islam senatiasa berjalan dan dikaji, karena itu tantangannya senatiasa ada. Dan salah satu tantangan filsafat saat ini adalah bagaimana menurunkan filsafat dari “menara gading” ke ranah yang lebih praktis dan lebih menyentuh pada persoalan kesehari-harian kita. Pada beberapa titik, buku ini patut diapresiasi mengingat ia berhasil ‘turun’ lebih dekat untuk lebih mudah dipahami.

Terkait problem penerjemahan, Nur tak menampik bahwa kesulitan dalam penerjemahan selalu ada. Dan diantara solusinya, penerjemah harus mengetahui pembahasan yang akan diterjemahkan sebelum menerjemahkan. Adapun bila saat proses terjemahan ada problem transliterasi istilah, Nur menyarankan agar meminjam istilah dari Bahasa Inggris terlebih dahulu, baru kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Menurutnya, hal ini dipilih karena bahasa Indonesia miskin istilah. Pada titik ini, ia setuju dengan Musa, bahwa harus adafootnote untuk menjelaskan istilah-istilah yang dirasa perlu penjelasan lebih.

Terakhir, setelah dua pembicara selesai berbicara, diskusi buku siang itu diwarnai oleh tanya-jawab antara peserta-pembicara. Lalu, acara akhirnya ditutup dengan pembagian buku gratis bagi semua penanya dan foto bareng dengan penerjemah dan editor.