Problematika Ta’wil Sebagai Hermeneutika Timur dalam Pendekatan Karya Sastra

Dalam perkembangan ilmu-ilmu humaniora di Indonesia, khususnya ilmu sastra, hermeneutika dapat dikatakan sebagai pendekatan yang relatif baru. Kajian kesusastraan yang menerapkan pendekatan ini secara utuh pun masih belum banyak. Demikian pula dengan karya tulis (terutama buku) berbahasa Indonesia yang secara khusus mendiskusikan hermeneutika pun cukup sulit ditemui, kecuali terjemahan dari bahasa asing. Buku Hermeneutika Sastra Barat dan Timur karya Abdul Hadi W.M. ini menjadi salah satu usaha mengisi kekosongan diskursus hermeneutika dalam pendekatan studi sastra di Indonesia.

Buku ini menyuguhkan enam bagian pembahasan yang diawali dengan penjelasan tentang hubungan antara hermenutika dan studi sastra. Pada bagian pertama, penulis buku ini meyakini bahwa kebangkitan kembali hermeneutika dalam perdebatan ilmu sosial dan humaniora tidak terlepas dari kecenderungan untuk mempelajari teks-teks klasik dan kesejarahan yang sebelumnya sempat mati suri karena dianggap tidak sesuai dengan semangat zaman baru, bersamaan dengan kuatnya arus neopositivisme masa pencerahan (Aufklaerung) yang menjujung tinggi rasionalitas.

Dalam konteks tersebut, buku ini menempatkan hermeneutika sebagai kritik atas dominasi dua kecenderungan pemikiran neopositivisme dan posmodernisme yang dicirikan sebagai ahistoris, adialektis, dan alinguistik (hal. 11-19). Alasannya, dua pemikiran tersebut telah menafikan makna dari simbol tertentu (melalui bahasa) yang sejatinya terkait erat dengan sejarah, pandangan hidup, dansemangat zaman di mana sebuah teks diproduksi. Sebagai contoh, de Saussure dianggap keliru dalam memahami bahwa bahasa benar-benar terpisah dari realitas dunia. Para hermeneun (tokoh hermeneutika) seperti Heidegger, Gadamer, dan Ricouer justru memandang “bahasa sebagai artikulasi das sein (wujud) tidak terpisahkan dari realitas” (hal. 21).Pencapaian makna secara utuh dan hakiki atas teks tertentu harus melibatkan pertimbangan realitas termasuk di dalamnya adalah sejarah, pandangan hidup dan tradisi manusianya.

Di bagian kedua, buku ini berusaha mengulik sejarah hermenutika yang mengukuhkan Plato sebagai penggagas awal terma ini. Di tangan Plato, hermeneutikadiartikan sebagai teknik dan cara menafsir sesuatu melalui proses pengilhaman setelah seseorang melakukan meditasi dan kontemplasi (hal. 33). Hal ini kemudian dipahami oleh Abdul Hadi bahwa Plato menghubungkan hermeneutika dengan spiritualitas dan dalam perkembangannya menekankan asas metafisika atau asas batin sebuah teks.Dengan mengurai kesejarahan tokoh hermeneutika dari zaman Yunani kuno seperti Plato hingga Agustinus, Aquinas sampai Chladenius, Vico, Ast, Wolf, Schleiermacher, dan Ricouer, penulis buku ini sampai pada sebuah perbandingan antara hermeneutik dengan mimamsa dan ta’wilyang mana dua terma terakhir berakar dari tradisi intelektual Timur. Sayangnya, perbandigan di bab ini terbatas pada penyejajaran antara cara pemerolehan makna (tafsir) di Barat yang diwakili hermeneutika dan di Timur yang diwakili mimamsa dan ta’wilyang mana masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Penulis buku pada gilirannya menggiring pembaca untuk memahami kedua terma Timur tersebut sebagai bagian dari hermeneutika.

Pada bagian ketiga dan keempat, secara khusus pembahasan buku ini terpusat pada pemikiran dua tokoh kunci hermeneutika modern yaitu Dilthey dan Hans-Georg Gadamer. Tokoh pertama yang populer dengan usulan metode heuristik dalam ilmu sosial-humanioraitu dianggap berhasil memadukan kembali psikologi, estetika, dan sejarah sebagai asas dalam studi sastra. Kecenderungan dari pemikiran tokoh ini adalah hermeneutika sejarah. Adapun tokoh kedua, Gadamer, justru mengkritik hermeneutika sejarah dan mengedepankan peran subjek dalam keberadaan setiap teks.Lagipula, bagi Gadamer, hermeneutika bukanlah metode karena kebenaran (pemahaman teks) tidak bisa dicapai dengan metode. Hermeneutika adalah pemahaman itu sendiri, dan untuk mencapainya, ada empat konsep yang dapat mengantar seseorang memperkaya pemahaman yaitu, bildung (gambar), sensus communis, practical judgement, dan taste atau selera (hal. 125-142).

Ketika pembahasan tentang pemikiran Gadamer belum sepenuhnya terinci, penulis buku seakan meloncat ke penjelasan bagian kelima yang bahkanmengajak pembaca merujuk pandangan Gadamer kepada gagasan Ibn ‘Arabi tentang ta’wil.Judul bagian kelima buku inipun menyisakan masalah epistemik karena membingkai ta’wil sebagai hermeneutika Islam. Masalah tersebut adalah tentangbagaimana ta’wil benar-benar bisa disejajarkan dengan hermeneutika, terlebih hermeneutika Islam?Lantas bagaimana konsep hermeneutika Islam itu sendiri? Secara terang-terangan penulis buku meyakini bahwa dua terma itu memiliki esensi yang sama sehingga hampir disetiap bagian pembahasan, terma ta’wil selalu disandingkan dengan hermeneutika. Berbeda halnya dengan pembahasan rasa dhvanipada bagian keenam (terakhir) yang tidak secara ketat disandingkan dengan hermeneutika.

Argumentasi atas ta’wil sebagai hermeneutika Islam sejatinya tidak begitu tampak jelas. Abdul Hadi hanya sebatas menarik kesimpulan problematis bahwa “ta’wil merupakan bentuk hermeneutika yang berkembang dalam tradisi Islam dan mulai diperkenalkan pada abad ke-10 dan 11…” (hal. 151). Sebelumnya, dia menguatkan bahwa kedua terma itu sama-sama berupaya memahami teks melalui dialog dan dialektika yang dilanjutkan dengan penyingkapan makna terdalam teks atau pesan moralnya. Melalui alasan ini kemudian ta’wil dikategorikan sebagai hermeneutika Islam.

Membuat simplifikasi bahwa ta’wil merupakan hermeneutika Islam tentu saja menyisakan pertanyaan besar. Terdapat dua alasan mendasar tentang kelemahan dari simplifikasi tersebut. Pertama, konsep ta’wil dalam Islam pada umumnya tersanding dengan konsep tafsir di mana keduanya merupakan metode untuk menggapai sebuah pemahaman atas teks tertentu, terutama teks yang berhubungan dengan teks suci Islam seperti al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam tradisi keilmuan Islam, sejumlah aturan ketat sangat ditekankan di sini sebab menyangkut pemahaman atas ayat suci. Namun demikian, untuk menggapai sebuah makna dan pemahaman atas teks-teks Islam yang bukan termasuk teks suci, khususnya kesusastraan, tradisi Islam memiliki metode sendiri yang terkonsep lewat balaghah. Konsep ini menuntun kepada pemahaman sebuah teks, khususnya teks sastra, yang menggunakan bahasa metaforis dan simbolik.Satu paket dengan ilmu balaghah yang bertujuang menyingkap makna teks sastra adalah ilmu bayan, ma’ani, dan badi’.

Meskipun ta’wil dan tafsir tidak selalu harus digunakan untuk teks-teks suci, namun ketika berbicara tentang tradisi metode penggalian makna sebuah teks, konsep lain seperti balaghahperlu didiskusikan. Hal ini sebagai upaya menghindari kerancuan dalam memahami tradisi Islam secara utuh. Apalagi nantinya metode tersebut disandingkan, bahkan diklaim sebagai bagian dari metode lain di luar tradisinya seperti hermeneutika. Dalam keilmuan, sangat memungkinkan keduanya memiliki tipologi yang sama namun untuk menyejajarkannya harus ditopang dengan pengetahuan tradisi secara utuh. Buku karya Abdul Hadi ini nampaknya melalaikan hal tersebut.

Kedua, simplifikasi juga tampak dalam penciptaan terma baru yaitu ‘hermeneutika Islam’. Penyebutan terma ini terasa cukup gegabah dan mungkin terkesan emosional; membawa istilah baru ke dalam dunia penulisnya yaitu Islam.Terma ini justru membuat sebuah dikotomi baru bahwa ada hermeneutika Islam dan ada pula hermeneutika non-Islam. Meskipun pada dasarnya penulis buku mengklasifikasikan bahwa ta’wil adalah bentuk hermeneutika (dalam) Islam yang didasarkan pada esensi cara kerja dari masing-masing terma, namunterbentuknya terma baru ini justru akan menciptakan jarak antara hermeneutika dengan hermeneutika Islam yang sangat mungkin malah justru berbeda secara esensial. Jarak ini juga bisa jadi semakin memisahkan keilmuan dalam tradisi Islam dengan keilmuan dalam tradisi Barat. Padahal, dalam kenyataanya keduanya memiliki tradisi keilmuan dengan istilah masing-masing yang esensinya tidak jauh berbeda. Tampaknya Abdul Hadi terjebak dalam pesona terma sehingga memaksa hermeneutika dan ta’wil menjadi hermeneutika Islam.

Terlepas dari segala kekurangan yang dimilikinya, buku ini secara  umum memang sangat berarti dan berkontribusi dalampengembangan pendekatan dan mengulik teks-teks kesusastraan khususnya di Indonesia. Kecenderungan pendekatan struktural,dan baru-baru ini terasa ramai pendekatan paskastruktural seperti paskakolonial, yang mendominasi pendekatan studi sastra di Indonesia memosisikan buku ini sebagai bacaan alternatif untuk memperkaya metode pemaknaan teks baik itu sastra atau bahkan teks non-sastra.

Judul                 : Hermeneutika Sastra Barat dan Timur
Penulis             : Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.
Penerbit           : Sadra Press
Cetakan           : Pertama, Maret 2014
Tebal                : xvi+236 halaman
Reviewer         : Mohammad Rokib

*pernah dimuat di jurnal al-adab

(Sumber: http://surabayabooks.blogspot.co.id/)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *