Setiap dispilin ilmu yang dimiliki dan dipelajari oleh umat manusia hari ini pada awalnya merupakan sebuah proposisi-proposisi terbatas dan secara gradual, pelbagai persoalan telah diimbuhkan padanya dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri. Boleh jadi pada awalnya, subyek ilmu tidak menjadi jelas bagi mereka dan seiring dengan perjalanan waktu subyek dan predikat khusus serta tujuan disiplin ilmu itu menjadi jelas dan terang.
Mengutip Aristoteles, “Kami mewarisi proposisi-proposisi yang berserakan dari para pendahulu kemudian kami sempurnakan dan menjadikannya sebagai sebuah disiplin ilmu Logika.” (Syarh Manzhumah, Sabzewari, pembahasan Logika)
Pakem ini berlaku pada setiap jenis ilmu pengetahuan dan boleh jadi disebabkan oleh kesempurnaan gradual, satu disiplin ilmu kemudian terpecah menjadi beberapa disiplin ilmu lainnya, padahal sebelumnya tidak lebih dari satu. Sebagai contoh kedokteran pada masa lalu dimana kita jumpai seorang tabib yang menjadi dokter bagi seluruh jenis penyakit namun dewasa ini setiap dokter memiliki spesialisasi tersendiri. Disiplin ilmu lainnya juga demikian adanya.
Teologi atau Kalam tidak terkecualikan dari pakem ini, entah pada masa Yunani kuno atau pada masa peradaban Islam. Ilmu ini pada mulanya terbentuk dari sebuah kajian sederhana dan terbatas kemudian seiring dengan perjalanan waktu mengalami kemajuan dan kesempurnaan.
Terkait dengan filsafat, Allamah Thabathabai dalam sebuah artikel pada seminar tentang Mulla Sadra menyebutkan bahwa Filsafat tatkala ditransfer dan diimpor dari Yunani ke dunia Islam, tidak lebih dari 200 persoalan yang menjadi obyek kajian. Namun berkat usaha filsuf Islam, telah mencapai 700 persoalan.
Pada masa-masa belakangan di Barat, sebuah disiplin ilmu Teologi, entah disebabkan oleh karena persoalan keilmuan atau politik, lahir dan pada umumnya teolog Kristen yang menjadi desainer atau peletak batu pertama atas munculnya disiplin ilmu ini yang disebut sebagai Teologi Baru atau New Theologi atau Modern Theology.
Kelahiran Modern Theology
Kecendrungan pada manusia (baca: humanism) pada masa Renaissance pada kurun kelima belas dan pada abad ketujuhbelas telah mencapai titik kulminasi. Pada masa ini, orang-orang di Barat meyakini bahwa manusia dapat dan segala sesuatu harus dikaji dengan akal kritis dan metode ilmu empirik.
Mereka yang mengikuti pemikiran ini berkata Kitab Suci juga tidak ada bedanya dengan hal lainnya. Karena itu, ia harus ditelisik, dikaji dan dikuliti di laboratorium ilmiah. Menyikapi fenomena ini, para teolog Kristen, untuk melakukan pembelaan (defence) atas iman Kristiani dan penyelarasannya dengan kondisi baru, berusaha bertungkus lumus melahirkan sebuah dispilin ilmu baru yang disebut sebagai The Modern Theology atau New Theology (Kalām Jadid).
Peletak dasar terma Modern Theology ini adalah Scheleirmacher (w 1834) yang lebih menekankan pada persoalan seperti Pengalaman Religius, Kristilogi, Tafsir-tafsir Baru atas Doktrin-doktrin Kristen semisal Wahyu, Keselamatan dan Trinitas. (Lihat, David F Ford, The Modern Theologians, hlm. 4, sebagaimana dikutip dalam Kalam Jadid, hlm. 16)
Terma Kalam Jadid pertama kali diperkenalkan dalam khazanah pemikiran Islam (Sunni) oleh Syibli Nu’mani (w 1914) dan dalam kosmos pemikiran Syiah, Murtadha Muthahhari yang mengajak pemikir Muslim untuk mengkonstruksi Kalam Jadid dengan memperhatikan masalah-masalah baru dalam Teologi, seperti sebab-sebab kemunculan Agama, wahyu dan ilham, dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, imamah dan kepemimpinan. (Kalām Jadid, hlm. 14)
Apa Itu Kalam Jadid?
Terkait dengan apa itu atau māhiyyah Kalam Jadid terdapat beberapa definisi yang dilontarkan oleh teologi sebagaimana berikut:
Pertama: Kata kalām di sini adalah ekuivokal dan bermakna Kalam Jadid dan Kalam Qadim. Para pendukung definisi ini meyakini bahwa terdapat perbedaan substansial di antara keduanya. Mengingat bahwa atmosfer pemikiran di abad ini secara keseluruhan mengalami perubahan dan yang mendominasi adalah segala yang bercorak saintis dan filosofis, karena itu untuk menetapkan secara rasional dan yakin keyakinan-keyakinan yang merupakan tugas Kalam Qadim menjadi mustahil. Karena itu, mau-tak-mau berbicara tentang nabi dan Tuhan, eskatologi dan wahyu harus menggunakan metode yang lain.
Kedua: Pengimbuhan kata “baru” adalah ajektif bagi syubhat dan media yang digunakan. Sejatinya tidak terdapat perbedaan substansial antara Kalam Qadim dan Kalam Jadid.
Ketiga: Definisi ketiga ini adalah definisi yang digandrungi terkait dengan penafsiran Kalam Jadid. Mereka memandang bahwa “baru” (jadid) itu merupakan sifat bagi masalah-masalah teologis. Artinya pada masa lalu, Kalam lebih banyak berkonfrontasi dengan masalah-masalah dalam domain ketuhanan dan eksatologi namun dewasa ini lebih banyak pada ranah humanisme dan agamalogi. (Khusrupanah, Kalam Jadid, hlm. 25)
Teologi Baru atau Masalah-masalah Baru Teologi?
Sebagian pemikir memandang bahwa terma Modern Theology yang diintrodusir Barat sebagai penyikapan atas lahirnya keraguan-keraguan baru dalam masalah Teologi kemudian dialihbahasakan menjadi Kalam Jadid adalah sebuah bentuk underestimate dan pelecehan atas Teologi Islam. Mereka menilai bahwa masalah-masalah yang mengemuka dalam Kalām Jadid itu merupakan bagian dari Kalam Klasik hanya saja masalah-masalah yang mengemuka pada Kalam Jadid itu adalah masalah-masalah baru. (Masāil Jadid Kalāmi, Ayatullah Ja’far Subhani, hlm. 8)
Perbedaan Kalam Klasik dan Modern
Berangkat dari persoalan di atas, perlu kiranya diurai lebih jauh terkait dengan pembagian ilmu Kalam menjadi Qadim dan Jadid di sini. Karena itu, berikut ini kita akan membahas beberapa pandangan terkait dengan pembagian Kalam Qadim dan Kalam Jadid dengan mencukupkan hanya menyinggung empat pandangan untuk menghemat ruang dan waktu.
Pandangan Pertama
Sebagian berpandangan bahwa alih-alih kita membagi ilmu Kalam itu menjadi klasik dan modern, baiknya menjadi teolog klasik dan teolog modern, sebagaimana dalam kosmos Fikih menjadi fakih klasik dan fakih modern. Fikih adalah sebuah disiplin ilmu mengalami perkembangan dan perubahan dari sisi paradigma dan metode pembahasan, baik pada sisi cabang-cabang dan persoalan-persoalannya. Toh dengan begitu, Fikih tidak terbagai menjadi Fikih Klasik dan Fikih Modern melainkan menjadi fakih klasik dan fakih kontemporer (modern). Karena itu, kriteria “baru” sebagai antonym dari “kuno” atau modern sebagai bandingan dari “tradisional” dan semisalnya menggunakan kriteria waktu (zaman) sehingga boleh jadi di masa mendatang akan muncul Teologi “Lebih” Modern (Kalam Ajad). Apabila kriteria yang digunakan adalah: kandungan baru, paradigm baru dan metode baru, dalam hal ini siapa yang akan menjamin di masa akan datang tidak akan muncul masalah lebih modern, paradigma lebih modern dan metode lebih modern? (Ayatullah Jawadi Amuli, JurnalQabasāth, No 2, hlm. 63)
Dalam pandangan ini, perubahan dan pembaruan (tajaddud) dalam ilmu Kalam diiakui pada tiga fokus pembahasan: Kandungan, paradigma dan metode. Namun problem utamanya adalah lantaran perubahan itu bersifat in flux (sayyāl) dan senantiasa berlaku sehingga ilmu Kalam tidak dapat dibagi menjadi klasik dan modern mengingat pada masa-masa mendatang, apa yang sekarang modern (jadid) segera akan menjadi klasik dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, kata klasik dan modern berdasarkan kriteria ini adalah kalimat ajektif dan bersifat relatif.
Pandangan Kedua:
Perbedaan Kalam Qadim dan Kalam Jadid, Teologi Klasik dan Teologi Modern pada dua hal. Pertama, pada syubhat-syubhat yang dulu mengemuka dan keraguan-keraguan itu kini telah mengalami antikuasi dan tidak lagi aktual atau up to date. Kedua, pada afirmasi-afirmasi teologis yang dulu berpengaruh dan diterima kini tidak lagi memiliki daya magnet yang cukup untuk menarik orang membicarakannya.
Allamah Muthahhari sekaitan dengan hal ini berkata, “Mengingat bahwa Teologi sebuah disiplin ilmu yang memiliki dua tugas: Pertama membela dan membantah pelbagai syubhat, kritikan dan objeksi atas ushul dan furu’ Islam. Kedua, menjelaskan serangkaian persoalan yang terkait dengan ushul dan furu’ Islam. Nah, mengingat bahwa pada masa kita banyak syubhat yang bersileweran yang dulunya tidak ada karena itu perlu kiranya kita membangun dan mengkonstruksi Kalam Jadid. (Ali Rabbani Gulpaigani, Aqāid Istidllāli)
Sisi common Kalam Qadim dan Kalam Jadid, sesuai dengan pandangan ini, tujuan dan goal yang diingin disasar oleh ilmu Kalam. Sisi perbedaannya berkaitan dengan dalil-dalil dan syubhat-syubhat teologis yang mengemuka pada masa klasik dan masa kiwari. Akan tetapi perbedaan ini bersifat sebagian (fil jumlah) bukan keseluruhan (bil jumlah) dan tidak menyentuh masalah stabilitas atau kemajuan metode pembahasan-pembahasan teologis.
Pandangan Ketiga:
Penggunaan kata modern (jadid) pada ilmu Kalam sejatinya pada tiga persoalan berikut ini:
- Keraguan-keraguan baru dalam ranah Teologi
- Amunis-amunisi baru teologis
- Tugas-tugas baru teologis
Kalam Jadid adalah konsekuensi Kalam Qadim dan tidak terdapat perbedaan substansial di antara keduanya. Kita dapat mengakui Kalam Jadid pada tiga sisi: Pertama, tugas pertama dan utama ilmu ini adalah menjawab pelbagai syubhat dan karena syubhat-syubhat yang terlontar itu baru maka kalam juga ikut baru. Kedua, hal yang perlu diperhatikan bahwa dengan amunisi lama tidak selamanya dapat menjawab pelbagai syubhat baru. Terkadang untuk menjawab syubhat baru perlu digunakan amunisi baru. Karena itu, seorang teolog memerlukan beberapa hal yang baru. Ketiga, ilmu Kalam menemukan satu tugas baru yaitu menjadi agamalogi (mengenal agama-agama). Agamalogi menyoroti masalah agama dari sudut pandang eksternal agama. Karena itu, Kalam Jadid acap kali juga disebut sebagai Filsafat Agama. Agamalogi adalah pandangan yang menyoroti agama sebagai sebuah makrifat dari makrifat-makrifat dan menemukan hokum-hukumnya, atau menyoroti tentang salah satu kondisi spiritual dan psikologikal. Singkatnya menyoroti secara psikoanalisis terhadap agama. Agamalogi dengan makna ini telah diimbuhkan pada pembahasan-pembahasan ilmu Kalam. (Soroush, Qabdh wa Basth Syariat, hlm. 12 dan 13).
Pandangan Keempat:
Dimensi-dimensi baru dan modern pada ilmu Kalam adalah sebagai berikut:
- Baru dalam persoalan-persoalan:
Baru dalam persoalan-persoalan ini memililki dua factor, pertama baru dalam syubhat-syubhat dan lainnya kesempurnaan makrifat seorang teolog. Misalnya persoalan khatamiyat yang pada literatur-literatur teologis abad 19 tidak mengemuka sebagai persoalan teologis, sementara teolog kiwari menilainya sebagai bagian dari persoalan teologis.
2. Baru dalam Metodologi:
Mengingat tugas ilmu Kalam menjelaskan ajaran-ajaran agama, menetapkan ajaran-ajaran tersebut serta menjawab pelbagai syubhat sedemikian sehingga para penentang dapat menerima ajaran-ajaran agama buah implementasi tugas ini. Hal ini meniscayakan pertama, sesuai dengan barunya pemahaman dalam benak pendengar, kedua, barunya syubhat maka metode yang harus digunakan oleh seorang teolog juga harus baru. Pada satu masa, metode analogis (qiyās) yang digandrungi teologi, dan pada satu masa lainnya, metode dialektik (jadāl) dan masa berikutnya memfavoritkan dalil-dalil empiric, bukti-bukti induktif (istiqrā’i) dan metode statistic. Secara umum jawaban atas setiap syubhat memerlukan media tertentu. Persoalan sosiologis harus dipecahkan dengan menggunakan metode ilmu-ilmu Sosial. Keraguan filsuf Positivisme harus memakai media-media tertentu yang diterima oleh kalangan positivis. Karena itu, konsekuensi mengemukanya pelbagai syubhat dan keraguan baru maka masalah-masalah ilmu Kalam juga menjadi baru demikian juga metodologinya.
3. Baru dalam bahasa:
Ilmu Kalam berbeda dengan ilmu Demonstratif (baca Filsafat) dan Empirik tidak menggunakan bahasa akurat ilmiah, melainnkan teolog berdasarkan pada obyek wicaranya akan menggunakan bahasa dan lisan tertentu.
4. Baru dalam Paradigma:
Baru dalam paradigma dan asas ini merupakan bahasan terpenting dalam pembaruan Kalam. Sebagian paradigm ilmu Kalam mendapat perhatian khusus para teolog, seperti paradigma dan pijakan epistemologis dan ontologis dimana galibya para teolog menilainya sebagai persoalan umum ilmu Kalam dalam permulaan buku-buku mereka. Namun persoalan penting dari paradigma dan asas ilmu Kalam seperti paradigma humanis dan naturalis tidak begit mendapat perhatian teolog. Karena itu, dalam buku-buku teologi tidak begitu dibahas.
5. Baru dalam identitas:
Kalam apabila kita tinjau dari sudut pandang waktu dibandingkan dengan masa lalu maka ia bersifat baru dan terkait dengan masa akan datang akan menjadi baru. Baru di sini tidak terkhusus pada ilmu Kalam, melainkan setiap pengetahuan manusia bersifat tadriji al-hushul. Artinya manusia memperoleh ilmunya secara gradual, ada yang baru dan yang lama. Yang baru segera menjadi lama dan seterusnya. (Faramerz Qaramaliki, Maudhe’ Ilm wa Din dar Khelqat, hlm. 23 & 27)
Kesimpulan
Hemat penuis, dari apa yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa apabila perubahan dan pembaruan (tajaddud) dalam ilmu Kalam diiakui pada tiga fokus pembahasan: Kandungan, paradigma dan metode maka ketiganya bersifat in flux (sayyāl) dan senantiasa berlaku sehingga ilmu Kalam tidak dapat dibagi menjadi klasik dan modern mengingat pada masa-masa mendatang, apa yang sekarang modern (jadid) segera akan menjadi klasik dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, kata klasik dan modern berdasarkan kriteria ini adalah kalimat ajektif dan bersifat relatif. Karena itu apa yang disebut sebagai Kalām Jadid itu adalah Pendekatan Baru dalam Isu-isu Agama (meminjam judul buku karya Dr Hasan Yusufian edisi terjemahan Indonesia) atau sesuai dengan judul tulisan ini, Masalah-masalah Baru Teologi. Wallāhu ‘Ālim.
Oleh: Akmal Kamil[*]