Blog

Yaumul Quds dan Tiga Misi Pembebasan Muslim Sedunia

Sudah puluhan tahun semenjak Palestina mengalami pendudukan dan jutaan Muslim mengalami pengasingan, penyiksaan hingga pembantaian. Dari anak-anak, perempuan hingga laki-laki dewasa semua tidak luput dari penderitaan. Sementara mereka terisak dan khawatir akan ancaman rudal, sebagian besar umat Muslim lain dapat tidur nyenyak.

            Berbagai upaya diplomatis dalam beragam tingkatan dari individu hingga internasional juga telah dilakukan. Usaha mandiri dari bangsa-bangsa Muslim serta resolusi atau—faktanya, intervensi dari bangsa-bangsa besar dunia juga telah diupayakan. Sayang, tidak juga tanah Quds terbebas dari cengkeraman penjajahan.

            Yaumul Quds yang selalu dirayakan pada setiap jumat terakhir di bulan ramadhan harusnya menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan kondisi yang masih berlangsung. Dimana yang keliru? Apa yang telah kita lewatkan? Bagaimana agar saudara kita di Palestina dapat segera merasakan kemerdekaannya?

            Berpijak pada kegelisahan itu, penulis mendedahkan tawaran mengenai tiga langkah pembebasan tanah Quds. Mereka dipandang sebagai langkah-langkah yang selama ini terabaikan atau kurang banyak diberi perhatian. Ketiganya menjadi pekerjaan rumah yang seharusnya telah lama jadi fokus gerakan muslim seluruh dunia.

Penyadaran

            Gerakan pembebasan Quds harus dimulai dari pembangunan kesadaran di tengah-tengah seluruh komunitas Muslim. Bahwa yang sedang terjadi bukan hanya persoalan terbatas sebagian masyarakat Palestina yang dirampas hak-haknya. Melainkan, ia adalah persoalan masyarakat Muslim seluruhnya di setiap penjuru dunia.

            Kesadaran yang diciptakan harus meliputi kesadaran bahwa sesama Muslim, tidak peduli berasal dari mana saja, adalah bagian dari tubuh sebuah komunitas yang satu. Menyakiti suatu bagian berarti menyakiti semua. Respon bangsa Muslim yang bersifat fragmentatif dan sporadis sebagaimana terjadi selama ini menggambarkan masih minimnya kesadaran itu.

            Nyatanya, kesadaran akan ikatan persaudaran universal umat Muslim belum tersimpul. Masing-masing bangsa terjebak dalam primordialitas dengan membanggakan atau mengutamakan suku atau rasnya. Fakta ini justru menampakkan kejatuhan moral Muslim yang dulunya telah dipersatukan oleh Nabi Muhammad dalam akidah dan ukhuwah Islamiyah.

            Belum lagi keterbelahan umat Islam yang telah terjadi karena konflik politik sunni-syiah, harus dicarikan penawar. Ketegangan di timur tengah karena isu-isu perbedaan pandangan keagamaan dalam tubuh umat Islam itu merupakan halangan terbesar. Kita bisa melihat bagaimana gerakan pembebasan Quds terhambat karena motif ini dibelakangnya.

Pemerdekaan

            Makna merdeka sering dikerdilkan kepada makna kedaulatan sebuah bangsa dalam memerintah negaranya. Padahal, merdeka memiliki dua sisi mata uang yang harus dimiliki seutuhnya untuk benar-benar dapat menyatakan kemerdekaan diri. Memiliki satu sisi makna tidak meniscayakan kemerdekaan yang sejati. Banyak negara yang dianggap merdeka, nyatanya sekedar negara boneka bangsa penguasa.

            Makna merdeka pertama adalah merdeka dalam aspek negatif yang bermakna bebas dari paksaan atau tekanan pihak lain. Demikian itu secara kasat mata dimiliki mayoritas umat Muslim kecuali di Palestina. Namun merdeka yang hakiki adalah dalam makna kedua. Merdeka yang bersifat positif dan berarti memiliki kemampuan untuk bersuara dan mewujudkan aspirasinya.

            Kemerdekaan positif jarang dimiliki karena kebanyakan bangsa Muslim tersandera oleh kepentingan jangka pendek. Entah khawatir kehilangan mitra koalisi atau dukungan pendanaan. Bukan rahasia bahwa Israel berhasil bertahan melalui Amerika yang selama ini dipandang superpower. Yang jelas akibatnya bangsa-bangsa Muslim tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan pandangan mereka.

            Kesadaran mengenai kesatuan tubuh umat muslim dan bahwa Quds adalah bagian dari sejarah budaya dan identitas Islam harus dilanjutkan dengan kesadaran mengenai kualitas kemerdekaan bangsa-bangsa Muslim. Dulu bangsa Muslim adalah bangsa besar yang suaranya memiliki pengaruh besar. Namun, jangankan berpengaruh, kini banyak bangsa Muslim yang tidak memiliki cukup nyali untuk bersuara.

            Embargo yang dilakukan kepada misalnya Iran telah cukup meyakinkan kebanyakan bangsa Muslim untuk menunduk lesu. Bagi mereka, kenyamanan pribadi jauh lebih berharga, mewah, ketimbang kemerdekaan saudara-saudara di Palestina.

           
Penyetaraan

            Memiliki kemerdekaan dalam makna negatif dan positif tidak juga cukup untuk mendorong pembebasan Quds. Kenyataannya, ada 40 lebih negara dengan jumlah Muslim yang besar. Belum lagi jika menengok muslim-muslim lain di negara-negara Barat atau negara-negara dimana muslim sebagai minoritas.

            Namun, Islam yang diwakili bangsa-bangsa dan komunitasnya yang jika dipadu berjumlah besar itu tidak memiliki kesamaan hak dalam menentukan nasib Israel. Disinilah justru penting dipahami dan harus dicamkan. Bagaimana mungkin akan muncul solusi konkrit di panggung liga bangsa-bangsa dunia bila segala keputusan bisa di veto oleh beberapa negara saja?

            Kemerdekaan menjadi tidak berarti apa-apa. Kita bisa mengelola segala sumber daya dan menentukan lagu, bendera dan lambang negara. Tapi di mata dunia, bangsa-bangsa Muslim tidak lebih dari sapi perah yang menyalurkan sumber daya alam kebutuhan negara maju. Ironisnya, kita juga adalah pasar terbesar yang mengonsumsi produk mereka.

            Jika saja kedudukan semua bangsa setara kebuntuan situasi yang terjadi di Palestina pasti tidak berlangsung berlarut-larut. Semua bangsa Muslim dan mayoritas negara lain tahu sejarah yang sebenarnya terjadi. Bahwa bangsa Palestina yang telah turun-temurun hidup diusir dari tanah nenek-moyangnya. Mereka juga menginginkan pembebasan Palestina segera.

            Namun persoalannya bangsa-banga Muslim dipandang rendah. Bangsa-bangsa Muslim tidak memiliki signifikansi karena ketergantungannya kepada yang lain. Ketergantungan itulah benalu yang menyandera mereka dalam melakukan tindakan yang secara nyata akan mengubah kondisi di tanah Quds.

Kesimpulan

            Kemerdekaan Palestina hanya dapat dicapai jika tiga hal telah terkonsolidasi. Kesadaran akan persaudaraan universal Islam yang menjadikan Palestina bukan sekedar suatu tanah bangsa Arab yang jauh di sana. Melainkan Palestina adalah saudara kita, kakak, adik, tumpah darah yang sama dengan kita.

            Kita juga harus merenggut kemerdekaan yang sejati dan utuh bagi bangsa-bangsa Muslim terlebih dahulu. Bagaimana caranya agar memiliki otonomi sehingga terdapat kapasitas untuk menyatakan pandangan tanpa takut diintervensi? Sebab toh percuma memiliki keresahan yang sama namun enggan jujur karena khawatir persepsi bangsa lain.

            Terakhir, kemerdekaan tidak berarti apa-apa jika bangsa-bangsa Muslim tidak dipandang setara, sama tinggi. Bahwa kemerdekaan Palestina harus dimulai dari kesetaraan, bahkan kekuatan persatuan bangsa-bangsa Muslim di pentas dunia. Saat itulah tidak hanya membebaskan Palestina, Islam juga hadir kembali di dunia sebagai kekuatan yang disegani.

Ahmad Amin Sulaiman

LOMBA KARYA ILMIAH: PEMIKIRAN SAYID ALI KHAMENEI

Total Hadiah 25 Juta untuk 10 Pemenang

LOMBA KARYA ILMIAH
PEMIKIRAN AL-QUR’AN SAYID ALI KHAMENEI

📍Ketentuan:

  • Peserta merupakan civitas akademika STAI Sadra, Yayasan Hikmat Al-Mustafa, anggota ABI, IJABI, IKMAL, ICC, dan lembaga-lembaga yang berafiliasi.
  • Lomba bersifat perorangan maupun kelompok (maksimal 3 orang)
  • Karya orisinal dan belum pernah dipublikasikan
  • Petunjuk Teknis dapat diakses di

📍Tema:
“Pemikiran Al-Qur’an Perspektif Sayid Ali Khamenei”
📍Sub Tema:

  1. Metodologi Tafsir Sayid Ali Khamenei
  2. Al-Qur’an dan Ilmu-ilmu Humaniora
  3. Landasan Qur’ani Pemikiran Politik, Sosial, dan Ekonomi
  4. Al-Qur’an dan Perempuan
  5. Al-Qur’an dan Peradaban
  6. Seni, Media, dan Budaya dalam Pandangan Al-Qur’an
  7. Al-Qur’an Anti Imperialisme dan Kapitalisme
  8. Kebangsaan dan Kenegaraan dalam Pandangan Al-Qur’an

🗒️Timeline Lomba
20 Maret 2023 – 03 April 2023-Pendaftaran Peserta
28 April 2023 – Batas Pengumpulan
02 Mei 2023 – Pengumuman Pemenang (Masih dalam konfirmasi)

Pendaftaran dapat diakses di http://shorturl.at/vFL12 dan tidak dipungut biaya apa pun.
Naskah dikirimkan dalam bentuk softfile ke alamat riset@sadra.or.id.

CP
085813436806 (Imandega)

Bedah Buku “Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban”

Bedah buku “Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban” karya Majid Fakhry terbitan Sadra Press diselenggarakan tanggal 2 Mei 2019, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Karena itu, menurut Dr. Yusuf Rahman, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, dalam sambutannya menyatakan bahwa sudah tepat bila kita memanfaatkan hari ini dengan kegiatan positif, yaitu bedah buku.

Rahman menjelaskan bahwa Majid Fakhry adalah tokoh dalam filsafat Islam. Bahkan, karya Fakhry lainnya yang berjudul A History of Islamic Philosophy menjadi salah satu buku wajib mahasiswa Akidah-Filsafat.

Acara yang berlokasi di Gedung Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta ini dihadiri hampir 200 orang, dari kalangan mahasiswa, civitas dan pejabat UIN Jakarta, maupun dari kalangan umum. Acara ini menghadirkan Drs. Nanang Tahqiq M.A. dan Dr. Kholid al-Walid M.A. Keduanya terbilang pemateri otoritatif dan kompeten untuk mendiskusikan dan membedah karya Majid Fakhry ini.

Drs. Nanang Tahqiq, M.A.. pemateri pertama bedah buku ini yang merupakan dosen filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, senada dengan Dekan dan menganggap bahwa buku ini benar-benar buku filsafat Islam. Majid Fakhry dikenal sebagai sejarawan filsafat Islam, ia terampil untuk memetakan pemikiran Ibn Rusyd.

Karya ini berbeda dengan karya Fakhry sebelumnya, A History of Islamic Philosophy, yang kendati memuat pemaparan filsafat dan kalam, tetapi cenderung diulas dari aspek historis. Buku ini berbeda dan menurutnya karya ini adalah karya filsafat Islam.

Bagi Nanang, Sadra Press—penerbit buku Fakhry ini–memiliki banyak penerjemah bagus dan dia berharap semoga ke depan Sadra Press terus menerjemahkan karya-karya filsafat Islam. Begitu pula dengan terjemahan karya Majid Fakhry ini ternilai sangat baik, dapat dimengerti, dan karena itu perlu diapresiasi.

Namun, tak hanya memuji, Nanang juga memberikan kritik atas buku ini. Pertama, dari segi judul, menurutnya, kurang tepat penggunaan “Lentera Dua Peradaban”. Pasalnya, Ibn Rusyd awalnya diterima di Barat terlebih dahulu baru kemudian di dunia Islam. Ia diterima oleh dua peradaban pada abad ke-19, bukan ketika ia hidup atau tak lama setelah ia meninggal. Kedua, dari segi transliterasi, beberapa istilah dalam buku ini tidak konsisten dalam menggunakan transliterasi. Ketiga, ada kesalahan dalam penulisan karya Aristoteles yang berjudul Organon, dalam buku ditulis Orpanon [kendati memang setelah dicek dalam naskah asli Majid Fakhry memang ditulis Orpanon].

Sementara itu, menurut ketua STFI Sadra, Kholid al-Walid, filsafat Barat berhutang besar pada Ibn Rusyd. Hutang paling besar adalah penerjemahan karya Aristoteles dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Ibn Rusyd adalah penerjemah utama karya Aristototeles. Tak ada penerjemah karya Yunani yang melebihi kualitas terjemahan Ibn Rusyd. Kholid pun tak sependapat dengan Nanang terkait judul “Lentera Dua Peradaban” yang menurutnya sudah tepat.

Ibn Rusyd, kata Kholid, adalah orang yang paling luar biasa dalam menjawab Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf)-nya al-Ghazali. Kendatipun memang, sayangnya karya bantahan Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, ditulis sekitar tujuh puluh tahun setelahnya. Dalam bukunya itu, al-Ghazali menyerang filsafat secara membabi buta. Hal ini bisa dilihat dari isi bukunya yang menyatakan “Kalau ada orang yang bertanya apa yang harus dilakukan terhadap orang yang berfilsafat, maka bunuhlah ia.” Kholid kemudian menggarisbawahi bahwa memang al-Ghazali menulis Tahāfut al-Falāsifah ketika ia belum menjadi Sufi; yakni ketika pengetahuan dan pengalamannya belum sepenuhnya bijak. Para filosof pun, menurutnya, tidak terlalu memperhatikan karya Ghazali ini lantaran dianggap ‘kekanak-kanakan’.

Ibn Rusyd sebagaimana penjelasan Fakhry adalah titik sentral dari transformasi dunia filsafat [di Timur] ke dunia Barat. Ibn Rusyd mengkritik teori emanasi yang dikenalkan oleh filsuf Peripatetik. Dalam kaidah filsafat disebutkan, al-wāhid lā yashdhuru ‘anhu illā al-wāhid (yang tunggal tidak akan menghasilkan kecuali ketunggalan juga). Artinya, wājib al-wujūd (wujud-niscaya-ada yang dalam konteks agama disebut Tuhan) adalah kemutlakan ketunggalan.

Dan karena ia mutlak, maka mustahil ia menghasilkan sesuatu yang plural. Sebab, jika ia menghasilkan sesuatu yang plural, maka ia juga plural. Padahal ia adalah ketunggalan mutlak. Hal ini sesuai dengan kaidah bahwa “sebab pasti memilki apa yang dimiliki akibat”. Karena, sebab itu lebih utama dari akibat, dan tidaklah mungkin sesuatu yang tidak memiliki sesuatu akan memberikan sesuatu, sebagaimana kaidah lain menyebutkan fāqid al-syay’ lā yu‘thi al-syay’ (yang tak punya tak akan memberi). Dengan demikian, kalau akibatnya plural, maka pluralitas pasti ada pada sebab. Kondisi semacam ini menyebabkan ijtimā‘ al-naqhidayn (berkumpulnya dua hal yang kontradisi), bahwa wājib al-wujūd pada saat yang sama tunggal sekaligus plural. Bagi Ibn Rusyd, ini mustahil.

Kholid selanjutnya menjelaskan bahwa teori gerak Ibn Rusyd berjasa pada pemikiran Mulla sadra. Teori gerak Ibn Rusyd mengandaikan bahwa gerak adalah perubahan dari potensialitas menuju aktualitas. Sehingga, bagi filsuf Andalusia ini, gerak bukan hanya perpindahan. Gerak bukan hanya pindah dalam konteks tempat, melainkan juga dalam konteks berkembang. Pemaparan ini, menurutnya, dapat ditemukan dalam kitab al-Kawn wa al-Fasād-nya Ibn Rusyd.

Sebagai penutup, moderator acara ini, Ali Zainal Abidin, menyatakan bahwa Ibn Rusyd adalah seorang yang memiliki kecakapan enskilopedis. Ia bukan hanya ahli filsafat dan teologi, tapi juga ahli dalam bidang fikih, fisika, astronomi, dan kedokteran. Beberapa sejarawan filsafat menyebutnya sebagai pemikir ensiklopedis dan sebagai penafsir otoritatif pemikiran Aristoteles. Menurutnya, karena begitu dominannya pengaruh Ibn Rusyd, hingga di Barat berkembang Averroisme. Dan karena begitu dominannya mazhab ini, peneliti-peneliti filsafat di Barat ‘melupakan’ bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak berhenti di Ibn Rusyd, malah ia berlanjut dan dikembangkan oleh filosof-filosof setelahnya, dan yang terbesar di antaranya adalah Mulla Sadra.

[Review Buku] Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban

Averroes: His Life, Works and Influence [baru diterbitkan oleh Sadra Press dengan judul Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban] adalah pengantar pada filosofi dan teologi Ibn Rusyd yang mudah dibaca, informatif, dan menarik. Karya ini ditulis dengan baik, sederhana, jelas, dan dapat diakses, dan cocok untuk siswa maupun orang awam. Seperti dalam tulisan-tulisan lainnya, Fakhry ternilai unggul dalam meringkas ide-ide dan argumen-argumen filosofisnya. Dia menetapkan argumen-argumen filosofis tersebut dalam konteks filosofisnya yang tepat, dan memperkayanya dengan perdebatan dan diskusi kontemporer.

Karya Fakhry ini memuat pendahuluan, 11 bab, dan sebuah kesimpulan. Pendahuluan menyajikan sejarah singkat filsafat umum dan Islam, dan menempatkan Ibn Rusyd di dalamnya. Bab 1 menceritakan biografi Ibn Rusyd, dan mendaftar serta menjelaskan karya-karyanya. Bab 2 dan 3 menetapkan kerangka kerja polemik dari karya Ibn Rusyd: Kritiknya terhadap Ibn Sina dan Aristotelianisme yang ter-Neoplatonis-kan dari Ibn Sina, dan tanggapannya terhadap al-Ghazali dan pandangan teologisnya. Banyak pokok bahasan utama yang dibahas dalam bab-bab selanjutnya, di antaranya: emanasi, daya akal aktif, esensi dan eksistensi, fakultas jiwa, penciptaan, pengetahuan Ilahi, kebangkitan, dan kausalitas alamiah.

Diskusi filosofis dan teologis utama ditemukan di bab 4 hingga 9. Di sini Fakhry merangkum ide-ide Ibn Rusyd tentang kategori, konsepsi dan asersi; memperkenalkan fisika dan kosmologinya; mendiskusikan psikologi dan teori konjungsinya; menggambarkan teorinya tentang penciptaan bersinambung dan terputus; merangkum ide-ide etis dan filsafat politiknya; dan secara singkat menjelaskan karya hukum utamanya dan ringkasan medis. Sepanjang pemeriksaan ide dan doktrin filosofis dan teologis, penekanannya adalah pada kesatuan pemikiran Ibn Rusyd dan kedekatannya dengan Aristoteles. Inkonsistensi dalam tulisan-tulisan Ibn Rusyd kadang-kadang dicatat, tetapi tidak pernah dibahas.

Dua bab terakhir dan kesimpulan kemudian fokus pada penerimaan—di Eropa Kristen, oleh Thomas Aquinas, dan di dunia Arab, di Abad Pertengahan dan Zaman Modern. Di sini kontras antara penerimaan Ibn Rusyd di Timur dan Barat sangat mencolok. Sementara sebagian besar karya Ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin atau Ibrani dan dipelajari dengan tekun di Eropa Kristen, sebaliknya karya-karya ini diabaikan, ditolak, atau dikritik tajam di dunia Islam. Bahkan di Zaman Modern, Fakhry mencatat, ketika Ibn Rusyd telah mengalami sedikit kebangkit

an di dunia Arab, ia lebih diakui  untuk cita-cita budaya yang ia wakili ketimbang filsafat aktualnya. Hingga, misalnya, ia telah dipilih sebagai model sekularisme, pencerahan, dan bahkan Marxisme, atau, sebaliknya, dicela lantaran pandangan agamanya—karena mengutamakan “ilmu-ilmu asing” di atas kitab suci dan tradisi.

Baca: [Buku Baru] Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban

Baca: Karya Politik Kontroversial Ibn Rusyd

Tonton Video: Ini lho buku baru Majid Fakhry

Diskusi Fakhry disajikan dengan cara meringkas teks-teks asli. Ada referensi ke sumber sekunder atau terjemahan yang jarang, dan sumber sekunder yang digunakan sudah usang. Ini sendiri tidak bermasalah; tentu saja tidak perlu membebani pembaca awal dengan bibliografi. Tetapi dalam beberapa kasus, konsultasi kesarjanaan baru-baru ini dapat membantu penulis menghindari kesalahan. Referensi ke kesarjanaan terbaru juga dapat mengarahkan pembaca ke studi yang lebih rinci tentang satu subjek atau yang lain, dan dapat membantu memoderasi penilaian awal Fakhry bahwa “sangat sedikit perhatian terhadap karya Ibn Rusyd dalam bahasa Inggris” (vii).

Beberapa contoh dapat mengilustrasikan poin-poin ini: Ibn Rusyd menulis komentar bukan pada Metafisika Nicolaus dari Damaskus (3) tetapi pada De Plantis, yang baru-baru ini direkonstruksi dari sumber-sumber Ibrani (lihat Nicolaus Damascenus De Plantis: Five Translations, 1989). Risalah singkat berjudul “Apa yang peripatetik dan teolog agama kita percaya sehubungan dengan cara keberadaan dunia adalah dekat maknanya” mungkin hilang dalam bahasa Arab asli (seperti catatan Fakhry, 4), tetapi versi bahasa Ibrani, yang sudah diterbitkan pada abad kesembilan belas, tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Barry Kogan (dalam Islamic Theology and Philosophy, ed. M. Marmura, 1984).

Apologi Fakhry tentang klasifikasi logis Averroes di Poetics (41-42) memang tampak sangat aneh setelah karya Deborah Black, yang telah menunjukkan implikasi menarik dari “konteks” ini (Logic and Aristotle’s Rhetoric and Poetics in Medieval Arabic Philosophy, 1990). Dalam pembahasan tentang jiwa, Fakhry mengutip risalah Ibn Rusyd tentang konjungsi (ittishāl) (71), yang, seperti ditunjukkan oleh Charles Burnett, ditulis bukan oleh Ibn Rusyd, melainkan oleh putranya, Abdullah (lihat arsip d’histoire doctrinale et littéraire du moyen âge 67, 2000, 295-335).

Diskusi tentang jiwa secara umum, lebih jauh, bisa mendapat manfaat dari buku tahun 1992 karya Herbert Davidson, Alfarabi, Avicenna, & Averroes on Intellect, yang merupakan salah satu karya standar pada subjek yang sama. Akhirnya, ketika membahas Aquinas tentang penciptaan, Fakhry mengacu pada referensi Maimonides mengenai al-Farabi dalam Guide of the Perplexed 2:15, dan menunjukkan bahwa Harmonisasi al-Farabi adalah sumber terdekat (159). Meskipun ini mungkin sumber langsung Maimonides, ia mungkin juga telah mengambil dari ringkasan al-Farabi tentang Topik, seperti yang diusulkan pada 1965 oleh G. Vajda (lihat Jurnal Asiatique 253, 43-50).

Kegagalan untuk memeriksa penelitian yang belakangan ternilai sangat problematis dalam bab 10, yang hampir seluruhnya didasarkan pada monografi Renan 1852, Averroès et l’averroïsme. Bahkan, hampir semua yang ditulis pada h. 132-133 tidak tepat. Beberapa contoh dari tradisi Ibrani akan cukup untuk mendukung klaim ini: Terjemahan Averroes ke dalam bahasa Ibrani bukan “dimulai oleh orang-orang Yahudi Spanyol” tetapi oleh orang-orang Yahudi di Perancis Selatan (yang secara umum dapat dilihat di Gad Freudenthal, Revue des études juives 152 (1993), 29-136, dan M. Zonta, La filosofia antica nel Medioevo ebraico: Le traduzioni ebraiche medievali dei testi filosofici antichi, 1996).

“Samuel Ben Tibbon” tidak mendasarkan “Pendapatnya dari para filsuf khususnya dari Ibn Rusyd.” Ini adalah karya Shem Tov Falaquera, yang penggunaan Ibn Rusydnya jelas didokumentasikan oleh Steven Harvey (lihat The Medieval Hebrew Encyclopedias of Science and Philosophy, 2000). Apa yang dilakukan oleh Samuel Ben Tibbon adalah menghasilkan terjemahan bahasa Ibrani pertama dari sebuah karya Ibn Rusyd. Dia menerjemahkan tiga risalah serangkai, dua karya Ibn Rusyd, dan satu karya putra Ibn Rusyd, Abdullah (lihat lagi Burnett, serta C. Steel dan M. Geoffroy, diedit dan diterjemahkan, Averroès, La béatitude de l’âme, 2001).

Jacob Anatoli, bukan “Joseph Anatoli,” menerjemahkan komentar-sedang [tidak pendek atau lengkap] Ibn Rusyd tentang organon [karya Aristoteles] ke dalam bahasa Ibrani (hanya melalui Analytica Posteriora; Isagoge dan Categories telah diedit dan diterjemahkan oleh H. Davidson); Anatoli juga menerjemahkan ringkasan Ibn Rusyd tentang Almagest, yang sedang diedit oleh Julian Lay (lihat Arabic Sciences and Philosophy 6, 1996, hlm. 23-62). Qalonymus b. Qalonymus dari Arles, yang menerjemahkan beberapa karya Ibn Rusyd ke dalam bahasa Ibrani pada abad keempat belas, tidaklah sama dengan Calo Calonymus yang menerjemahkan Incoherence [Tahāfut al-Tahāfut] ke dalam bahasa Latin pada abad keenambelas. Dan sementara Todros Todrosi menerjemahkan Retorika dan Puisi sedang, dia tidak bertanggung jawab atas Topik sedang, Sanggahan Sophistik, atau Etika; ini adalah karya Qalonymus b. Qalonymus dan Samuel b. Yehuda dari Marseille (untuk komentar tentang Etika, lihat edisi Lawrence Berman, diterbitkan pada tahun 1999).

Satu poin terakhir juga perlu disebutkan. Dalam buku ini, seperti dalam tulisan-tulisan sebelumnya, Fakhry menyebut al-Farabi dan Ibn Sina sebagai “Neoplatonis Muslim”. Klasifikasi ini pantas mereka terima, Fakhry berpendapat, terutama karena teori emanasi dan doktrin intelek aktif mereka, keduanya dipengaruhi oleh Plotinus dan Proclus (melalui pseudepigraphical “Theology of Aristotle” dan “Book of Causes”). Dapat ditambahkan bahwa mereka dipengaruhi oleh Neoplatonisme kuno yang belakangan terkait dengan metode, bentuk sastra, dan juga klasifikasi ilmu.

Apa yang harus diingat, bagaimanapun, adalah bahwa al-Farabi, Ibn Sina, dan yang lain menganggap diri mereka sebagai “filsuf,” “peripatetik,” dan “pengikut mazhab Aristoteles,” dan sering berdebat melawan Plato dan Neoplatonis sebelumnya. Yang memperumit masalah, fisika dan logika terestrial mereka sebagian besar adalah Aristotelian, dengan pengaruh Stois (Stoic); astronomi mereka terutama adalah Ptolemeus; dan konsepsi mereka tentang pengaruh surgawi pada dunia sublunar dikondisikan oleh astrologi. Bahkan jika mereka adalah “Neoplatonis,” maka harus diperjelas bahwa ide-ide Neoplatonik hanyalah bagian dari tradisi filosofis yang kompleks. Dengan kata lain, mereka lebih dekat dengan Ammonius, Simplicius, dan Philoponus, daripada ke Plotinus, Lamblichus, dan Proclus.

Sebagai kesimpulan, terlepas dari kesalahan faktual dalam buku Fakhry dan klasifikasi kontroversial filsuf Islam Abad Pertengahan sebagai “Neoplatonis,” karya Fakhry ini adalah pengantar yang sederhana, jelas, dapat dibaca, dan berguna bagi filsafat dan teologi Ibn Rusyd.

 

James T. Robinson

The University of Chicago

 

(Sumber: https: Early Science and Medicine, Vol. 10, No. 3, h. 436-439.)

 

Katalog 2018

Undangan Diskusi & Bedah Buku “Republic Plato ala Ibn Rusyd”

Kala menulis buku “al-Dharūrī fī al- Siyāsah: Mukhtashar Kitāb al-Siyāyah li Aflāthūnyang diterbitkan oleh Sadra Press dengan judul “Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum Inti Politik Plato”, Ibn Rusyd mengisyaratkan pada situasi buruk yang dapat mengancam dirinya. Hal itu terlihat pada ungkapan yang ditujukan kepada seseorang yang meminta dirinya agar menulis buku mengenai politik ini, ia mengatakan:

“Maka ini semua, semoga Allah melanggengkan kemuliaan­mu dan memanjangkan umurmu, sejumlah diktum-diktum ilmiah yang penting (al-dharūriyyah) dari bagian ilmu ini (politik, al-‘Ilm al-Madanī), yaitu diktum-diktum yang dinisbatkan kepada Plato, kami telah coba menjelaskannya sesingkat mungkin karena keterdesakan waktu.”

Ibn Rusyd—dalam buku ini—sengaja fokus pada “hal yang dianggap penting” (al-Dharūrī), yang ditulisnya pada saat kondisi politik sarat dengan tindakan anarkis yang dapat mengancam kehidupan dirinya, se­hingga kondisi itu diungkapkan Ibn Rusyd sebagai masa yang melahirkan keterhimpitan, sebagaimana yang diungkapkannya dengan memakai ba­hasa yang lugas, seperti: “Keterhimpitan waktu”; “Jika Allah melapang­kan umur dan menyinari segala kesedihan dan keterhimpitan ini”; dan pengaduannya tentang, “Karena istilah filsafat pada masa kita sekarang selalu dicela oleh kalangan yang mengklaim dirinya menguasai ilmu syariat, mereka adalah para ulama yang dikenal banyak orang.”

Ia juga menggambarkan dirinya seperti seseorang yang rumahnya dilalap api, sehingga ia hanya berupaya menyelamatkan diri dan menyelamatkan barang-barang yang berharga. Posisinya pun diibaratkan seperti orang yang berada di antara serigala-serigala buas, hingga ia tidak mampu tenggelam larut ke dalam kebusukan, bahkan ia pun tidak merasa nyaman atas dirinya karena kebusukan tersebut.

Kondisi politik yang sarat dengan tindakan anarkis yang mengakibatkan adanya masa keterhimpitan yang menimpa diri Ibn Rusyd terjadi antara tahun 586- 590 H, masa ini pun merupakan masa setelah buku politiknya beredar, ia langsung diadili, hingga terjadilah tragedi Ibn Rusyd, di mana ia diasingkan dan karya-karyanya dibakar.

Seorang filsuf besar, pemikir Islam kenamaan, yang oleh Majid Fakhry dalam bukunya “Averroes: His Life, Works, and Influence”(insya Allah dalam waktu dekat diterbitkan oleh Sadra Press) digambarkan sebagai sosok yang menjulang dalam sejarah filsafat secara umum dan khususnya dalam Aristotelianisme, baik di Timur ataupun di Barat; mengungguli seluruh pendahulunya, mulai dari Alexander of Aphrodisias pada abad kedua, hingga Boethius pada abad kelima, dan Ibn Sina pada abad kesebelas, sosok yang merupakan penjelas paling cermat dari filsafat Aristoteles dalam bahasa dan negeri mana­pun, hingga di zamannya.

Dengan realitas semacam ini tidakkah Anda akan bertanya-tanya, mengapa Ibn Rusyd diperlakukan sedemikian rupa? Apa isi dari bukunya? Bukankah Ibn Rusyd selain seorang filsuf juga seorang ahli fikih yang saleh dan taat? Bahkan, dia pernah diangkat menjadi hakim agama (qādhī) di Sevilla (1169-1172) dan hakim kepala Cordoba (1172-1182)  serta bukunya Bidāyat al-Mujtahid menjadi rujukan para ahli hukum. Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Tentu banyak hal yang dapat didiskusikan dan didalami dari kisah dan pemikiran politik Ibn Rusyd. Dan untuk tujuan ini, Sadra Press (Sadra International Institute) dan STF Driyarkara sengaja menyelenggarakan dan mengundang Anda pada diskusi dan bedah buku Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum Inti Politik Plato  pada hari Senin 29 Oktober 2018 jam 11.00 WIB di Ruang 4 Gedung A STF Driyarkara. Dengan Romo A. Setyo Wibowo, ahli filsafat Yunani, dan Husain Heriyanto, ahli filsafat Islam, yang menjadi pematerinya.

Barangkali temen-temen tertarik, yuk bergabung dan konfirmasi kehadiran di link berikut http://sadrapress.com/form-bedah-buku-republik-plato/

Sebagai tambahan. bukan hanya pemateri “oke” yang kami sediakan, dapatkan juga sertifikat bagi Anda yang hadir.

 

Menyibak Hakikat Realitas dengan Wahyu dan Akal

Indra dan akal acap kali menemui jalan buntu dalam upayanya mengivestigasi hakikat realitas. Keduanya juga diyakini tidak mampu membuka jalan menuju kebahagiaan. Kelemahan tersebut mengantarkan pada pencarian sumber-sumber epistemologi lain. Manusia banyak berharap pada wahyu untuk dapat mengungkap berbagai misteri mendasar kehidupan ini karena wahyu menyatakan diri sebagai sumber alternatif tersebut.

Para rasul mengumumkan kepada khalayak akan penunjukan mereka oleh Tuhan atas penerimaan pengetahuan wahyu. Akal manusia tentu tidak begitu saja menerima kehadiran kenabian tersebut. Akal kemudian berjuang untuk melakukan pembuktian keberadaannya. Menurut penulis, akal dapat menerima wahyu sebagai sumber pengetahuan dengan syarat, wahyu dicerna secara benar (logis) dan baik (metodis). Maksud logis di sini yaitu melakukan pembuktian menggunakan hukum-hukum kemestian akal yang apabila terjadi penyangkalan maka akan memabawa pada kemustahilan. Sedangkan yang dimaksud dengan metodis adalah menggunakan pembuktian kesimpulan-kesimpulan pembuktian logis secara berurutan dan cermat. Hasilnya, keputusan akal memposisikan diri untuk dapat menerima pengkhabaran-pengkhabaran yang diungkapkan oleh wahyu. Begitu juga para rasul mengajak manusia untuk melibatkan akal dalam memahami wahyu. Keduanya membawa pada hubungan kemestian yang harmonis.

Penyandingan yang setara wahyu dan akal, menurut penulis, merupakan kemestian yang dituntut oleh wahyu dan keputusan akal sekaligus. Wahyu mengajak untuk menggunakan potensi akal sehat yang telah dianugerahkan,sedangkan akal menerima pengetahuan wahyu pada ranah dimana akal tidak lagi dapat bekerja berdasarkan hukum-hukum kemestian logis. wahyu dan akal merupakan dua perangkat yang menjadi utusan Allah dalam memainkan fungsi sentralnya menyibak tirai hakikat mendasar realitas.

Posisi setara antara akal dengan teks wahyu, menurut penulis dikarenakan keduanya merupakan utusan Tuhan kepada Manusia. Wahyu yang diturunkan kepada para nabi menjadi ayat pentunjuk yang berada di luar diri sementara akal juga merupakan ayat yang Allah anugrahkan berada di dalam diri. Yang satu bertindak sebagai perutusan internal dan yang lain bertindak sebagai perutusan eksternal. Wahyu mengkhabarkan bahwa Manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainya karena potensi akal yang dimilikinya. Melalui akal manusia dapat meraih pengetahuan dan mengantarkan pada pengenalan akan realitas.Keputusan akal juga memberi kesimpulan yang sama dalam mengenal fungsi batasan yang dimilikinya setelah mengarahkan dirinya pada realitas.

Menurut penulis, perangkat epistemologi dalam meraih pengetahuan dicapai dengan dua jalan. Pertama, jalur umum yang terbuka bagi semua orang dan Kedua, jalan khusus yang hanya dilimpahkan hanya kepada orang-orang tertentu. Perangkat epistemologi jalur umum, yaitu indera dan eksperimen, pemikiran dan pembuktian rasional, teks (naql) dan penyaksian batin (syuhudbathini). Melalui keempat jalur epistemologi tersebut, manusia dapat meraih pengetahuan yang meyakinkan sesuai dengan tingkat realitas ontologisnya. Sedangkan jalur khusus dalam menerima pengetahuan adalah jalan kenabian dan kerasulan yang jalan pencapaiannya dipilih oleh Allah secara lansung. Meski berada diluar kehendak manusia, jalan ini justru ditujukan untuk seluruh umat manusia.

Penulis juga menjelaskan bahwa agama bukanlah lawan dari akal namun teks (naql) yang semestinya menjadi lawan dari akal. agama disamping mengandung hukum tetap dan abadi juga memiliki dimensi temporeritas yang tentu keduanya dicapai melalui hasil kerja akal terhadap teks wahyu. Dengan demikian, akal tidak pernah dipertentangkan dengan agama karena justru ia menjadi alat untuk memahami teks wahyu dimana kesimpulan hukum yang berasal dari keduanya itulah disebut dengan agama.

Pada bagian awal buku ini, kita diajak untuk memahami beragam definisi akal. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan penolakan sebagian aliran filsafat baik Muslim maupun non-Muslim terhadap agama. Penolakan terjadi dikarenakan, menurut penulis, adanya rasionalisme radikal yang membelenggu mereka. Rasionalisme radikal ini muncul akibat tidak diaplikasikannya hukum-hukum akal dengan tepat yaitu tidak memenuhi syarat logis dan metodis sebagaimana disinggung diatas. Pembahasan kemudian beranjak pada penyangkalan peran akal oleh literalis Ahlusunnah maupun Syiah. Kaum literalis hanya mencukupkan diri pada makna literal teks dengan mengharamkan penafsir untuk bergerak lebih jauh menginterpretasikannya. Pada pagian akhir, diskusi ditutup dengan menampilkan pembahsan akal dalam pandangan Islam menurut persepektif penulis.

Pembahasan yang menuntut ketelitian ada pada bab yang diberi judul oleh penulis dengan “Wahyu dan Penyaksian Sufistik.” Pada bab ini penulis mengkritik pandangan sebagian ‘arif yang terkesan merendahkan peran akal dengan menggunakan argumentasi dari para ‘arif lainnya. Ironisnya, para ‘arif yang menempatkan peran akal pada tempat yang semestinya berdasarkan persfektif penulis tersebut,  tidak pernah mempersoalkan bahkan membela sebagian ‘arif yang dikesankan merendahkan derajat akal. Misalnya, di dalam buku ini banyak sekali kutipan langsung dari Maulana Jalaluddin Rumi dan para ‘arif lainnya yang terkesan merendahkan akal namun bisa dilihat Mulla Shadra yang argumentasinya menjadi rujukan penulis mengangkat Rumi sebagai orang yang memiliki kedalaman ilmu dan ma’rifah. Jika ingin ditunjukkan kekurangan isi buku ini, kebingungan penulis dalam persoalan ini menjadi catatan penting. Namun pembahasan-pembahsan sebelumnya menjadi sesuatu yang perlu untuk dibaca.

Pada akhirnya, buku ini layak dibaca sebagai pengantar memahami perdebatan hakikat whyu dan akal serta relasi diantara keduanya. Persoalan ini memang merupakan perdebatan klasik dalam tradisi kalam dan filsafat Islam namun sebagaimana dinyatakan penulis bahwa persoalan ini tidak akan pernah berhenti dibicarakan dan diperdebatkan. Hal itu mengingat peran sentralnya dalam menjawab msiteri kehidupan manusia. Selamat membaca.

_____________________________________________

Judul         :  Akal Dan Wahyu: Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat

Pengarang:  Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi

Penerbit    :  Sadra Press 2011

Peresensi  :  Mulyani, mahasiswa program magister filsafat Islam, Islamic College-Paramadina, Jakarta.

Mengenal Karya Besar Para Sufi via “Warisan Agung Tasawuf”

Sejak beberapa tahun terakhir, tasawuf, yang disebut pula Sufisme atau ‘Irfan, telah digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Kegandrungan ini muncul pasca modernisme gagal dan tidak mampu menjawab serangkaian problema serta mengobati kegelisahan dan pencarian spiritual manusia. Sebagaimana diketahui, pencarian dan pemenuhan kebutuhan manusia terhadap sesuatu yang langgeng dalam dirinya merupakan suatu kodrat.

Tasawuf adalah sumber kehidupan batiniah dan pusat yang mengatur keseluruhan or­ganisme keagamaan Islam. Jika Islam diibaratkan sebagai tubuh, maka tasawuf adalah jantungnya. Hubungan antara tasawuf dan Islam dapat pula diumpamakan dengan hubungan ruh dan jasad. Dapat dipastikan bahwa manusia tidak mungkin hidup, bergerak, dan mengatur dirinya, meskipun jasadnya masih utuh, jika tidak memiliki ruh. Demikian pula Islam, tanpa tasawuf—atau disebut dengan istilah apa pun seperti spiritualitas, keruhanian, dan ihsān— yang merupakan “ruh” akan menjadi agama yang menekankan hanya aspek lahiriah, aspek formal, yang tidak berfungsi membangun karakter tangguh, akhlak mulia, untuk mengangkat martabat manusia (Warisan Agung Tasawuf, 2015).

Salah satu cara untuk memahami dan mengenal tasawuf adalah melalui karya-karya besar (magnum opus) yang ditulis oleh para pelaku dan pengamalnya, yakni para sufi. Buku “Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi” didesain untuk memperkenalkan beberapa karya besar para Sufi itu. Seperti ditulis oleh Kautsar Azhari Noer dalam pengantarnya untuk buku ini, “Sebuah karya disebut ‘karya besar’ bukan karena tebal atau banyak jumlah halamannya, tetapi karena orisinalitasnya, pengaruhnya yang besar, dan posisinya yang signifikan dalam sejarah perkembangan tasawuf. Karya seperti ini, biasanya, dibaca dan dijadikan rujukan oleh banyak peminat, pengkaji dan pengamal tasawuf.”

Beberapa karya para Sufi yang dibahas dalam buku ini meliputi: al-Ri‘āyah li Huqūq Allāh karya al-Muhasibi, Kitāb Khatm al-Awliyā’ karya al-Hakim al-Tirmidzi, al-Mawāqif wa al-Mukhātabāt karya al-Niffari, al-Luma‘ fī al-Tashawwuf karya al-Sarraj, al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf karya al-Kalabadzi, Qūt al-Qulūb fī Mu‘āmalat al-Mahbūb karya Abu Thalib al-Makki, al-Risālah fī ‘Ilm al-Tashawwuf karya al-Qusyayri, Kasyf al-Mahjūb karya al-Hujwiri, Manāzil al-Sā’irīn karya al-Anshari, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali, dan Fushūsh al-Hikam karya Ibn ‘Arabi. Dan kontributor penulisan karya ini adalah para peneliti dan cendekiawan Islam Indonesia, di antaranya: Abdul Muhaya, Abdul Moqsith Ghazali, Asep Usman Ismail, Ikhlas Budiman, Kautsar Azhari Noer, Muhammad Aunul Abied Shah, Sri Mulyati, Suryana, dan Yunasril Ali.

Lantaran luasnya kajian dalam buku ini, tak salah jika Mukti Ali, Penulis buku Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia menyatakan: “Buku ini telah merekam resume dan kajian kritis dan mendalam terhadap kitab-kitab magnum opus ilmu tasawuf. Kitab-kitab yang dipilih oleh para pengkajinya merupakan kitab-kitab yang dalam sejarah pemikiran Islam telah dinobatkan sebagai cetak biru tasawuf dari dulu sampai hari ini dan bahkan mungkin sampai hari nanti. Sebab, kitab-kitab tersebut selaksa kompas yang menunjukkan arah yang tepat untuk melabuhkan hati, pikiran, dan amaliyah kita ke satu arah samudera kearifan. Sekaligus sebagai Globe (Bola dunia) yang membentangkan peta mistisisme Islam yang signifikan bagi para praktisi, pejalan spiritual (salik), petualang, penjelajah, dan pengamat.”

Menjawab Polemik Tasybih dan Tanzih Ibn Arabi

Di tengah perdebatan seputar hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, gagasan tasybih (penyerupaan al-Haqq dengan ciri-ciri yang dimiliki alam) dan tanzih(penafian keserupaan al-Haqq dari alam) telah menjadi dua istilah kunci sejak awal perkembangan ilmu kalam. Dalam merespon beberapa ayat al-Quran yang melekatkan Tuhan dengan gambaran semisal “tangan” Tuhan, “wajah” Tuhan, “kursi” Tuhan, dan lain-lain yang juga dimiliki ciptaan, di satu sisi, di samping ayat yang menegaskan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya, muncul kontroversi, haruskah makna di balik ungkapan-ungkapan Ilahi tersebut diimani apa adanya (literal), atau digantikan (takwil) dengan makna lain yang lebih layak secara rasional disandang Tuhan yang absolut. Posisi pertama adalah sikap teolog pendukung tasybih, sedang yang kedua adalah  kebalikannya, sikap teolog pendukung tanzih.

Uniknya, di tengah pertentangan teologis tersebut, Ibn Arabi tidak menerima satu gagasan dan menolak yang lainnya. Ia menerima keduanya secara bersamaan. Hal ini menjadikan pendiriannya tampak paradoksikal dan membingungkan. Namun, lewat buku “Mazhab Ibn Arabi: Mengurai Paradoksalitas Tasybih dan Tanzih”, penulis, Seyyed Ahmad Fazeli, sanggup menunjukkan penyelesaian dari paradoks tersebut. Dan inilah kelebihan dari buku ini.

Penulis menunjukkan penyelesaian dari paradoks tersebut tidak hanya secara rasional-logis dan doktrinal-mistis yang mendominasi ulasannya, namun juga tekstual-hermeneutis dengan menyuguhkan bukti dari ayat-ayat al-Qur’an tanpa harus mendistorsi literalitas makna dari ungkapannya. Semua perspektif ini terjalin secara koheren. Buku ini juga menggunakan pendekatan istilah peneliti kontemporer, semisal ithlaq maqsami, dalam analisis filosofis-mistisnya terhadap masalah tersebut, yang belum banyak ditemukan dalam karya serupa yang terbit di Indonesia.

Penulis buku ini sendiri merupakan peneliti, pengkaji, serta profesor di Universitas Internasi­onal al-Musthafa Qom, Iran. Dia pernah mengampu beberapa mata kuliah, semisal: hukum Islam, mistisisme komparatif, hermeneuti­ka, filsafat, dan tasawuf. Dia juga masih sering memberikan kajian seputar karya-karya filsuf dan sufi semisal Fushūsh al-Hikam karya Ibn Arabi, Mishbāh al-Uns karya Shadruddin Qunawi, Bidāyah al-Hikmah dan Nihāyah al-Hikmah karya Allamah Thabathaba’i. Pada periode 2009-2012, dia pernah menjabat sebagai Direktur Is­lamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta.

Teologi Baru atau Masalah-masalah Baru Teologi?

Setiap dispilin ilmu yang dimiliki dan dipelajari oleh umat manusia hari ini pada awalnya merupakan sebuah proposisi-proposisi terbatas dan secara gradual, pelbagai persoalan telah diimbuhkan padanya dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri. Boleh jadi pada awalnya, subyek ilmu tidak menjadi jelas bagi mereka dan seiring dengan perjalanan waktu subyek dan predikat khusus serta tujuan disiplin ilmu itu menjadi jelas dan terang.

Mengutip Aristoteles, “Kami mewarisi proposisi-proposisi yang berserakan dari para pendahulu kemudian kami sempurnakan dan menjadikannya sebagai sebuah disiplin ilmu Logika.” (Syarh Manzhumah, Sabzewari, pembahasan Logika)

Pakem ini berlaku pada setiap jenis ilmu pengetahuan dan boleh jadi disebabkan oleh kesempurnaan gradual, satu disiplin ilmu kemudian terpecah menjadi beberapa disiplin ilmu lainnya, padahal sebelumnya tidak lebih dari satu. Sebagai contoh kedokteran pada masa lalu dimana kita jumpai seorang tabib yang menjadi dokter bagi seluruh jenis penyakit namun dewasa ini setiap dokter memiliki spesialisasi tersendiri. Disiplin ilmu lainnya juga demikian adanya.

Teologi atau Kalam tidak terkecualikan dari pakem ini, entah pada masa Yunani kuno atau pada masa peradaban Islam. Ilmu ini pada mulanya terbentuk dari sebuah kajian sederhana dan terbatas kemudian seiring dengan perjalanan waktu mengalami kemajuan dan kesempurnaan.

Terkait dengan filsafat, Allamah Thabathabai dalam sebuah artikel pada seminar tentang Mulla Sadra menyebutkan bahwa Filsafat tatkala ditransfer dan diimpor dari Yunani ke dunia Islam, tidak lebih dari 200 persoalan yang menjadi obyek kajian. Namun berkat usaha filsuf Islam, telah mencapai 700 persoalan.

Pada masa-masa belakangan di Barat, sebuah disiplin ilmu Teologi, entah disebabkan oleh karena persoalan keilmuan atau politik, lahir dan pada umumnya teolog Kristen yang menjadi desainer atau peletak batu pertama atas munculnya disiplin ilmu ini yang disebut sebagai Teologi Baru atau New Theologi atau Modern Theology.

 Kelahiran Modern Theology

Kecendrungan pada manusia (baca: humanism) pada masa Renaissance pada kurun kelima belas dan pada abad ketujuhbelas telah mencapai titik kulminasi. Pada masa ini, orang-orang di Barat meyakini bahwa manusia dapat dan segala sesuatu harus dikaji dengan akal kritis dan metode ilmu empirik.

Mereka yang mengikuti pemikiran ini berkata Kitab Suci juga tidak ada bedanya dengan hal lainnya. Karena itu, ia harus ditelisik, dikaji dan dikuliti di laboratorium ilmiah. Menyikapi fenomena ini, para teolog Kristen, untuk melakukan pembelaan (defence) atas iman Kristiani dan penyelarasannya dengan kondisi baru, berusaha bertungkus lumus melahirkan sebuah dispilin ilmu baru yang disebut sebagai The Modern Theology atau New Theology (Kalām Jadid).

Peletak dasar terma Modern Theology ini adalah Scheleirmacher (w 1834) yang lebih menekankan pada persoalan seperti Pengalaman Religius, Kristilogi, Tafsir-tafsir Baru atas Doktrin-doktrin Kristen  semisal Wahyu, Keselamatan dan Trinitas. (Lihat, David F Ford, The Modern Theologians, hlm. 4, sebagaimana dikutip dalam Kalam Jadid, hlm. 16)

Terma Kalam Jadid pertama kali diperkenalkan dalam khazanah pemikiran Islam (Sunni) oleh Syibli Nu’mani (w 1914) dan dalam kosmos pemikiran Syiah, Murtadha Muthahhari yang mengajak pemikir Muslim untuk mengkonstruksi Kalam Jadid dengan memperhatikan masalah-masalah baru dalam Teologi, seperti sebab-sebab kemunculan Agama, wahyu dan ilham, dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, imamah dan kepemimpinan. (Kalām Jadid, hlm. 14)

Apa Itu Kalam Jadid?

Terkait dengan apa itu atau māhiyyah Kalam Jadid terdapat beberapa definisi yang dilontarkan oleh teologi sebagaimana berikut:

Pertama: Kata kalām di sini adalah ekuivokal dan bermakna Kalam Jadid dan Kalam Qadim. Para pendukung definisi ini meyakini bahwa terdapat perbedaan substansial di antara keduanya. Mengingat bahwa atmosfer pemikiran di abad ini secara keseluruhan mengalami perubahan dan yang mendominasi adalah segala yang bercorak saintis dan filosofis, karena itu untuk menetapkan secara rasional dan yakin keyakinan-keyakinan yang merupakan tugas Kalam Qadim menjadi mustahil. Karena itu, mau-tak-mau berbicara tentang nabi dan Tuhan, eskatologi dan wahyu harus menggunakan metode yang lain.

Kedua: Pengimbuhan kata “baru” adalah ajektif bagi syubhat dan media yang digunakan. Sejatinya tidak terdapat perbedaan substansial antara Kalam Qadim dan Kalam Jadid.

Ketiga: Definisi ketiga ini adalah definisi yang digandrungi terkait dengan penafsiran Kalam Jadid. Mereka memandang bahwa “baru” (jadid) itu merupakan sifat bagi masalah-masalah teologis. Artinya pada masa lalu, Kalam lebih banyak berkonfrontasi dengan masalah-masalah dalam domain ketuhanan dan eksatologi namun dewasa ini lebih banyak pada ranah humanisme dan agamalogi. (Khusrupanah, Kalam Jadid, hlm. 25)

Teologi Baru atau Masalah-masalah Baru Teologi?

Sebagian pemikir memandang bahwa terma Modern Theology yang diintrodusir Barat sebagai penyikapan atas lahirnya keraguan-keraguan baru dalam masalah Teologi kemudian dialihbahasakan menjadi Kalam Jadid adalah sebuah bentuk underestimate dan pelecehan atas Teologi Islam. Mereka menilai bahwa masalah-masalah yang mengemuka dalam Kalām Jadid itu merupakan bagian dari Kalam Klasik hanya saja masalah-masalah yang mengemuka pada Kalam Jadid itu adalah masalah-masalah baru. (Masāil Jadid Kalāmi, Ayatullah Ja’far Subhani, hlm. 8)

Perbedaan Kalam Klasik dan Modern

Berangkat dari persoalan di atas, perlu kiranya diurai lebih jauh terkait dengan pembagian ilmu Kalam menjadi Qadim dan Jadid di sini. Karena itu, berikut ini kita akan membahas beberapa pandangan terkait dengan pembagian Kalam Qadim dan Kalam Jadid dengan mencukupkan hanya menyinggung empat pandangan untuk menghemat ruang dan waktu.

 Pandangan Pertama

Sebagian berpandangan bahwa alih-alih kita membagi ilmu Kalam itu menjadi klasik dan modern, baiknya menjadi teolog klasik dan teolog modern, sebagaimana dalam kosmos Fikih menjadi fakih klasik dan fakih modern. Fikih adalah sebuah disiplin ilmu mengalami perkembangan dan perubahan dari sisi paradigma dan metode pembahasan, baik pada sisi cabang-cabang dan persoalan-persoalannya. Toh dengan begitu, Fikih tidak terbagai menjadi Fikih Klasik dan Fikih Modern melainkan menjadi fakih klasik dan fakih kontemporer (modern).  Karena itu, kriteria “baru” sebagai antonym dari “kuno” atau modern sebagai bandingan dari “tradisional” dan semisalnya menggunakan kriteria waktu (zaman) sehingga boleh jadi di masa mendatang akan muncul Teologi “Lebih” Modern (Kalam Ajad). Apabila kriteria yang digunakan adalah: kandungan baru, paradigm baru dan metode baru, dalam hal ini siapa yang akan menjamin di masa akan datang tidak akan muncul masalah lebih modern, paradigma lebih modern dan metode lebih modern? (Ayatullah Jawadi Amuli, JurnalQabasāth, No 2, hlm. 63)

Dalam pandangan ini, perubahan dan pembaruan (tajaddud) dalam ilmu Kalam diiakui pada tiga fokus pembahasan: Kandungan, paradigma dan metode. Namun problem utamanya adalah lantaran perubahan itu bersifat in flux (sayyāl) dan senantiasa berlaku sehingga ilmu Kalam tidak dapat dibagi menjadi klasik dan modern mengingat pada masa-masa mendatang, apa yang sekarang modern (jadid) segera akan menjadi klasik dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, kata klasik dan modern berdasarkan kriteria ini adalah kalimat ajektif dan bersifat relatif.

Pandangan Kedua:

Perbedaan Kalam Qadim dan Kalam Jadid, Teologi Klasik dan Teologi Modern pada dua hal. Pertama, pada syubhat-syubhat yang dulu mengemuka dan keraguan-keraguan itu kini telah mengalami antikuasi dan tidak lagi aktual atau up to date. Kedua, pada afirmasi-afirmasi teologis yang dulu berpengaruh dan diterima kini tidak lagi memiliki daya magnet yang cukup untuk menarik orang membicarakannya.

Allamah Muthahhari sekaitan dengan hal ini berkata, “Mengingat bahwa Teologi sebuah disiplin ilmu yang memiliki dua tugas: Pertama membela dan membantah pelbagai syubhat, kritikan dan objeksi atas ushul dan furu’ Islam. Kedua, menjelaskan serangkaian persoalan yang terkait dengan ushul dan furu’ Islam. Nah, mengingat bahwa pada masa kita banyak syubhat yang bersileweran yang dulunya tidak ada karena itu perlu kiranya kita membangun dan mengkonstruksi Kalam Jadid. (Ali Rabbani Gulpaigani, Aqāid Istidllāli)

Sisi common Kalam Qadim dan Kalam Jadid, sesuai dengan pandangan ini, tujuan dan goal yang diingin disasar oleh ilmu Kalam. Sisi perbedaannya berkaitan dengan dalil-dalil dan syubhat-syubhat teologis yang mengemuka pada masa klasik dan masa kiwari. Akan tetapi perbedaan ini bersifat sebagian (fil jumlah) bukan keseluruhan (bil jumlah) dan tidak menyentuh masalah stabilitas atau kemajuan metode pembahasan-pembahasan teologis.

Pandangan Ketiga:

Penggunaan kata modern (jadid) pada ilmu Kalam sejatinya pada tiga persoalan berikut ini:

  1. Keraguan-keraguan baru dalam ranah Teologi
  2. Amunis-amunisi baru teologis
  3. Tugas-tugas baru teologis

Kalam Jadid adalah konsekuensi Kalam Qadim dan tidak terdapat perbedaan substansial di antara keduanya. Kita dapat mengakui Kalam Jadid pada tiga sisi: Pertama, tugas pertama dan utama ilmu ini adalah menjawab pelbagai syubhat dan karena syubhat-syubhat yang terlontar itu baru maka kalam juga ikut baru. Kedua, hal yang perlu diperhatikan bahwa dengan amunisi lama tidak selamanya dapat menjawab pelbagai syubhat baru. Terkadang untuk menjawab syubhat baru perlu digunakan amunisi baru. Karena itu, seorang teolog memerlukan beberapa hal yang baru. Ketiga, ilmu Kalam menemukan satu tugas baru yaitu menjadi agamalogi (mengenal agama-agama). Agamalogi menyoroti masalah agama dari sudut pandang eksternal agama. Karena itu, Kalam Jadid acap kali juga disebut sebagai Filsafat Agama. Agamalogi adalah pandangan yang menyoroti agama sebagai sebuah makrifat dari makrifat-makrifat dan menemukan hokum-hukumnya, atau menyoroti tentang salah satu kondisi spiritual dan psikologikal. Singkatnya menyoroti secara psikoanalisis terhadap agama. Agamalogi dengan makna ini telah diimbuhkan pada pembahasan-pembahasan ilmu Kalam. (Soroush, Qabdh wa Basth Syariat, hlm. 12 dan 13).

Pandangan Keempat:

Dimensi-dimensi baru dan modern pada ilmu Kalam adalah sebagai berikut:

  1. Baru dalam persoalan-persoalan:

Baru dalam persoalan-persoalan ini memililki dua factor, pertama baru dalam syubhat-syubhat dan lainnya kesempurnaan makrifat seorang teolog. Misalnya persoalan khatamiyat yang pada literatur-literatur teologis abad 19 tidak mengemuka sebagai persoalan teologis, sementara teolog kiwari menilainya sebagai bagian dari persoalan teologis.

    2. Baru dalam Metodologi:

Mengingat tugas ilmu Kalam menjelaskan ajaran-ajaran agama, menetapkan ajaran-ajaran tersebut serta menjawab pelbagai syubhat sedemikian sehingga para penentang dapat menerima ajaran-ajaran agama buah implementasi tugas ini. Hal ini meniscayakan pertama, sesuai dengan barunya pemahaman dalam benak pendengar, kedua, barunya syubhat maka metode yang harus digunakan oleh seorang teolog juga harus baru. Pada satu masa, metode analogis (qiyās) yang digandrungi teologi, dan pada satu masa lainnya, metode dialektik (jadāl) dan masa berikutnya memfavoritkan dalil-dalil empiric, bukti-bukti induktif (istiqrā’i) dan metode statistic. Secara umum jawaban atas setiap syubhat memerlukan media tertentu. Persoalan sosiologis harus dipecahkan dengan menggunakan metode ilmu-ilmu Sosial. Keraguan filsuf Positivisme harus memakai media-media tertentu yang diterima oleh kalangan positivis. Karena itu, konsekuensi mengemukanya pelbagai syubhat dan keraguan baru maka masalah-masalah ilmu Kalam juga menjadi baru demikian juga metodologinya.

3. Baru dalam bahasa:

Ilmu Kalam berbeda dengan ilmu Demonstratif (baca Filsafat) dan Empirik tidak menggunakan bahasa akurat ilmiah, melainnkan teolog berdasarkan pada obyek wicaranya akan menggunakan bahasa dan lisan tertentu.

     4. Baru dalam Paradigma:

Baru dalam paradigma dan asas ini merupakan bahasan terpenting dalam pembaruan Kalam. Sebagian paradigm ilmu Kalam mendapat perhatian khusus para teolog, seperti paradigma dan pijakan epistemologis dan ontologis dimana galibya para teolog menilainya sebagai persoalan umum ilmu Kalam dalam permulaan buku-buku mereka. Namun persoalan penting dari paradigma dan asas ilmu Kalam seperti paradigma humanis dan naturalis tidak begit mendapat perhatian teolog. Karena itu, dalam buku-buku teologi tidak begitu dibahas.

    5. Baru dalam identitas:

Kalam apabila kita tinjau dari sudut pandang waktu dibandingkan dengan masa lalu maka ia bersifat baru dan terkait dengan masa akan datang akan menjadi baru. Baru di sini tidak terkhusus pada ilmu Kalam, melainkan setiap pengetahuan manusia bersifat tadriji al-hushul. Artinya manusia memperoleh ilmunya secara gradual, ada yang baru dan yang lama. Yang baru segera menjadi lama dan seterusnya. (Faramerz Qaramaliki, Maudhe’ Ilm wa Din dar Khelqat, hlm. 23 & 27)

Kesimpulan

Hemat penuis, dari apa yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa apabila perubahan dan pembaruan (tajaddud) dalam ilmu Kalam diiakui pada tiga fokus pembahasan: Kandungan, paradigma dan metode maka ketiganya bersifat in flux (sayyāl) dan senantiasa berlaku sehingga ilmu Kalam tidak dapat dibagi menjadi klasik dan modern mengingat pada masa-masa mendatang, apa yang sekarang modern (jadid) segera akan menjadi klasik dan demikian seterusnya. Dengan kata lain, kata klasik dan modern berdasarkan kriteria ini adalah kalimat ajektif dan bersifat relatif. Karena itu apa yang disebut sebagai Kalām Jadid itu adalah Pendekatan Baru dalam Isu-isu Agama (meminjam judul buku karya Dr Hasan Yusufian edisi terjemahan Indonesia) atau sesuai dengan judul tulisan ini, Masalah-masalah Baru Teologi. Wallāhu ‘Ālim.

Oleh: Akmal Kamil[*]