Indra dan akal acap kali menemui jalan buntu dalam upayanya mengivestigasi hakikat realitas. Keduanya juga diyakini tidak mampu membuka jalan menuju kebahagiaan. Kelemahan tersebut mengantarkan pada pencarian sumber-sumber epistemologi lain. Manusia banyak berharap pada wahyu untuk dapat mengungkap berbagai misteri mendasar kehidupan ini karena wahyu menyatakan diri sebagai sumber alternatif tersebut.
Penyandingan yang setara wahyu dan akal, menurut penulis, merupakan kemestian yang dituntut oleh wahyu dan keputusan akal sekaligus. Wahyu mengajak untuk menggunakan potensi akal sehat yang telah dianugerahkan,sedangkan akal menerima pengetahuan wahyu pada ranah dimana akal tidak lagi dapat bekerja berdasarkan hukum-hukum kemestian logis. wahyu dan akal merupakan dua perangkat yang menjadi utusan Allah dalam memainkan fungsi sentralnya menyibak tirai hakikat mendasar realitas.
Posisi setara antara akal dengan teks wahyu, menurut penulis dikarenakan keduanya merupakan utusan Tuhan kepada Manusia. Wahyu yang diturunkan kepada para nabi menjadi ayat pentunjuk yang berada di luar diri sementara akal juga merupakan ayat yang Allah anugrahkan berada di dalam diri. Yang satu bertindak sebagai perutusan internal dan yang lain bertindak sebagai perutusan eksternal. Wahyu mengkhabarkan bahwa Manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainya karena potensi akal yang dimilikinya. Melalui akal manusia dapat meraih pengetahuan dan mengantarkan pada pengenalan akan realitas.Keputusan akal juga memberi kesimpulan yang sama dalam mengenal fungsi batasan yang dimilikinya setelah mengarahkan dirinya pada realitas.
Menurut penulis, perangkat epistemologi dalam meraih pengetahuan dicapai dengan dua jalan. Pertama, jalur umum yang terbuka bagi semua orang dan Kedua, jalan khusus yang hanya dilimpahkan hanya kepada orang-orang tertentu. Perangkat epistemologi jalur umum, yaitu indera dan eksperimen, pemikiran dan pembuktian rasional, teks (naql) dan penyaksian batin (syuhudbathini). Melalui keempat jalur epistemologi tersebut, manusia dapat meraih pengetahuan yang meyakinkan sesuai dengan tingkat realitas ontologisnya. Sedangkan jalur khusus dalam menerima pengetahuan adalah jalan kenabian dan kerasulan yang jalan pencapaiannya dipilih oleh Allah secara lansung. Meski berada diluar kehendak manusia, jalan ini justru ditujukan untuk seluruh umat manusia.
Penulis juga menjelaskan bahwa agama bukanlah lawan dari akal namun teks (naql) yang semestinya menjadi lawan dari akal. agama disamping mengandung hukum tetap dan abadi juga memiliki dimensi temporeritas yang tentu keduanya dicapai melalui hasil kerja akal terhadap teks wahyu. Dengan demikian, akal tidak pernah dipertentangkan dengan agama karena justru ia menjadi alat untuk memahami teks wahyu dimana kesimpulan hukum yang berasal dari keduanya itulah disebut dengan agama.
Pada bagian awal buku ini, kita diajak untuk memahami beragam definisi akal. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan penolakan sebagian aliran filsafat baik Muslim maupun non-Muslim terhadap agama. Penolakan terjadi dikarenakan, menurut penulis, adanya rasionalisme radikal yang membelenggu mereka. Rasionalisme radikal ini muncul akibat tidak diaplikasikannya hukum-hukum akal dengan tepat yaitu tidak memenuhi syarat logis dan metodis sebagaimana disinggung diatas. Pembahasan kemudian beranjak pada penyangkalan peran akal oleh literalis Ahlusunnah maupun Syiah. Kaum literalis hanya mencukupkan diri pada makna literal teks dengan mengharamkan penafsir untuk bergerak lebih jauh menginterpretasikannya. Pada pagian akhir, diskusi ditutup dengan menampilkan pembahsan akal dalam pandangan Islam menurut persepektif penulis.
Pembahasan yang menuntut ketelitian ada pada bab yang diberi judul oleh penulis dengan “Wahyu dan Penyaksian Sufistik.” Pada bab ini penulis mengkritik pandangan sebagian ‘arif yang terkesan merendahkan peran akal dengan menggunakan argumentasi dari para ‘arif lainnya. Ironisnya, para ‘arif yang menempatkan peran akal pada tempat yang semestinya berdasarkan persfektif penulis tersebut, tidak pernah mempersoalkan bahkan membela sebagian ‘arif yang dikesankan merendahkan derajat akal. Misalnya, di dalam buku ini banyak sekali kutipan langsung dari Maulana Jalaluddin Rumi dan para ‘arif lainnya yang terkesan merendahkan akal namun bisa dilihat Mulla Shadra yang argumentasinya menjadi rujukan penulis mengangkat Rumi sebagai orang yang memiliki kedalaman ilmu dan ma’rifah. Jika ingin ditunjukkan kekurangan isi buku ini, kebingungan penulis dalam persoalan ini menjadi catatan penting. Namun pembahasan-pembahsan sebelumnya menjadi sesuatu yang perlu untuk dibaca.
Pada akhirnya, buku ini layak dibaca sebagai pengantar memahami perdebatan hakikat whyu dan akal serta relasi diantara keduanya. Persoalan ini memang merupakan perdebatan klasik dalam tradisi kalam dan filsafat Islam namun sebagaimana dinyatakan penulis bahwa persoalan ini tidak akan pernah berhenti dibicarakan dan diperdebatkan. Hal itu mengingat peran sentralnya dalam menjawab msiteri kehidupan manusia. Selamat membaca.
_____________________________________________
Judul : Akal Dan Wahyu: Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama dan Filsafat
Pengarang: Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi
Penerbit : Sadra Press 2011
Peresensi : Mulyani, mahasiswa program magister filsafat Islam, Islamic College-Paramadina, Jakarta.