Kala menulis buku “al-Dharūrī fī al- Siyāsah: Mukhtashar Kitāb al-Siyāyah li Aflāthūn”—yang diterbitkan oleh Sadra Press dengan judul “Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum Inti Politik Plato”, Ibn Rusyd mengisyaratkan pada situasi buruk yang dapat mengancam dirinya. Hal itu terlihat pada ungkapan yang ditujukan kepada seseorang yang meminta dirinya agar menulis buku mengenai politik ini, ia mengatakan:
“Maka ini semua, semoga Allah melanggengkan kemuliaanmu dan memanjangkan umurmu, sejumlah diktum-diktum ilmiah yang penting (al-dharūriyyah) dari bagian ilmu ini (politik, al-‘Ilm al-Madanī), yaitu diktum-diktum yang dinisbatkan kepada Plato, kami telah coba menjelaskannya sesingkat mungkin karena keterdesakan waktu.”
Ibn Rusyd—dalam buku ini—sengaja fokus pada “hal yang dianggap penting” (al-Dharūrī), yang ditulisnya pada saat kondisi politik sarat dengan tindakan anarkis yang dapat mengancam kehidupan dirinya, sehingga kondisi itu diungkapkan Ibn Rusyd sebagai masa yang melahirkan keterhimpitan, sebagaimana yang diungkapkannya dengan memakai bahasa yang lugas, seperti: “Keterhimpitan waktu”; “Jika Allah melapangkan umur dan menyinari segala kesedihan dan keterhimpitan ini”; dan pengaduannya tentang, “Karena istilah filsafat pada masa kita sekarang selalu dicela oleh kalangan yang mengklaim dirinya menguasai ilmu syariat, mereka adalah para ulama yang dikenal banyak orang.”
Ia juga menggambarkan dirinya seperti seseorang yang rumahnya dilalap api, sehingga ia hanya berupaya menyelamatkan diri dan menyelamatkan barang-barang yang berharga. Posisinya pun diibaratkan seperti orang yang berada di antara serigala-serigala buas, hingga ia tidak mampu tenggelam larut ke dalam kebusukan, bahkan ia pun tidak merasa nyaman atas dirinya karena kebusukan tersebut.
Kondisi politik yang sarat dengan tindakan anarkis yang mengakibatkan adanya masa keterhimpitan yang menimpa diri Ibn Rusyd terjadi antara tahun 586- 590 H, masa ini pun merupakan masa setelah buku politiknya beredar, ia langsung diadili, hingga terjadilah tragedi Ibn Rusyd, di mana ia diasingkan dan karya-karyanya dibakar.
Seorang filsuf besar, pemikir Islam kenamaan, yang oleh Majid Fakhry dalam bukunya “Averroes: His Life, Works, and Influence”(insya Allah dalam waktu dekat diterbitkan oleh Sadra Press) digambarkan sebagai sosok yang menjulang dalam sejarah filsafat secara umum dan khususnya dalam Aristotelianisme, baik di Timur ataupun di Barat; mengungguli seluruh pendahulunya, mulai dari Alexander of Aphrodisias pada abad kedua, hingga Boethius pada abad kelima, dan Ibn Sina pada abad kesebelas, sosok yang merupakan penjelas paling cermat dari filsafat Aristoteles dalam bahasa dan negeri manapun, hingga di zamannya.
Dengan realitas semacam ini tidakkah Anda akan bertanya-tanya, mengapa Ibn Rusyd diperlakukan sedemikian rupa? Apa isi dari bukunya? Bukankah Ibn Rusyd selain seorang filsuf juga seorang ahli fikih yang saleh dan taat? Bahkan, dia pernah diangkat menjadi hakim agama (qādhī) di Sevilla (1169-1172) dan hakim kepala Cordoba (1172-1182) serta bukunya Bidāyat al-Mujtahid menjadi rujukan para ahli hukum. Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Tentu banyak hal yang dapat didiskusikan dan didalami dari kisah dan pemikiran politik Ibn Rusyd. Dan untuk tujuan ini, Sadra Press (Sadra International Institute) dan STF Driyarkara sengaja menyelenggarakan dan mengundang Anda pada diskusi dan bedah buku Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum Inti Politik Plato pada hari Senin 29 Oktober 2018 jam 11.00 WIB di Ruang 4 Gedung A STF Driyarkara. Dengan Romo A. Setyo Wibowo, ahli filsafat Yunani, dan Husain Heriyanto, ahli filsafat Islam, yang menjadi pematerinya.
Barangkali temen-temen tertarik, yuk bergabung dan konfirmasi kehadiran di link berikut http://sadrapress.com/form-bedah-buku-republik-plato/
Sebagai tambahan. bukan hanya pemateri “oke” yang kami sediakan, dapatkan juga sertifikat bagi Anda yang hadir.